berusaha berdamai dengan status "tak terlihat"
saat aku berada di posisi tidak terlihat dan tidak dianggap, maka pada akhirnya aku hanya bisa menerima posisi itu.
"kamu tidak sepenting itu"
"kamu bukan bagian mereka"
aku harusnya heran, mengapa aku diperlakukan berbeda. tapi aku sadar aku memang tidak seistimewa itu. jadi aku tidak harus mempertanyakan dan mengharap lebih.
kemarin aku positif covid. aku harus isolasi mandiri selama 14 hari di kosan tanpa dirawat oleh siapapun. karena ini tentunya aku tidak bisa melaksanakan tugas mengajar dari sekolah.
kata rekan mengajarku, beberapa guru yang sebelumku terkonfirmasi covid difasilitasi makan siang dan tes swab dari sekolah. mereka begitu diperhatikan. tapi giliran aku yang covid, la kalam wa la salam, alias aku dibiarkan saja. aku hanya diingatkan setelah selesai masa isoman untuk segera masuk ke sekolah.
jujur aku merasa dianak-tirikan. setelah kembali ke sekolah, guru yang selesai isoman akan di tes swab ulang. tapi aku tidak difasilitasi untuk hal itu. saat aku konfirmasikan ke pihak personalia, katanya sama sekali tidak ada koordinasi dari koordinator bahwa aku butuh di swab, makanya aku tidak pernah menerima panggilan.
ya bagaimana aku difasilitasi makan siang kalau bagian personalia dan finance tidak tahu kalau aku terkonfirmasi covid. ternyata pihak yang "itu" sama sekali tidak memberikan konfirmasi pada mereka. saking sibuk?
oh atau mungkin aku dianggap pura-pura covid kali ya. saat pertama kali aku ijin sakit pun responnya meragukanku. seakan-akan sakitku ini dibuat-buat. dia menggampangkan kondisiku. "mau kemana? astaga tunggu sedikit lagi aja, bentar lagi jam pulang kok" mendengar tanggapan ini aku patuh, aku kembali ke UKS dan menikmati pening hebat di kepala. saat pulang, aku memakai sisa-sisa tenaga untuk kembali ke kamar kosanku.
tapi aku tidak ingin memperpanjang prasangka buruk. itu hanya menambah beban pikiranku, dan ya belum tentu maksud mereka seperti apa yang kuprasangkakan. bagaimanapun aku hanya mendengar ucap dan melihat ekspresi, bukan apa yang ada di dalam hati
"tth gak mau menanyakan ke pihak personalia? ya gak adil dong kalau tth gak difasilitasi kemarin isomannya"
"gak usah teh, aku males ngurusinnya. kalaupun yang tidak ada harusnya ada, yasudah aku ikhlasin saja"
aku bukan sekali, dua kali berada di situasi seperti ini.
tapi berkali-kali oleh orang dan tempat yang berbeda.
jadi kuterima hal-hal seperti ini sebagai sebuah takdir yang acapkali mengikutiku. aku hanya perlu meregulasi responku.
tidak bisa dipungkiri, aku tumbuh bersama perasaan tidak percaya diri dan takut keberadaanku tidak diterima.
aku bukan siapa-siapa. bagi mereka aku tidak ada.
aku mungkin tidak suka dengan situasi seperti itu. tapi aku harus bertahan dan berpura-pura semuanya berjalan baik dan normal.
selama orang-orang yang menganggap aku tak terlihat itu tidak menyakitiku secara fisik dan tidak merugikanku secara materi. aku masih cukup kuat menahan perasaan-perasaan "kecil" itu.
untuk materi/hak dalam bentuk "fasilitas isoman", masih cukup ditolerir. hehehe.
ada banyak hal-hal sederhana yang berhasil buatku bahagia, contohnya langit mendung bagaikan susu dan langit cerah dengan arakan awan seperti kapas.
mau langit yang sedang memamerkan kilau-kilau silau ataupun langit yang memilih sendu dengan mendung. dua-duanya selalu berhasil mengundang senyumku.
langit, aku selalu mengagumi kamu yang cukup kupandang dari bawah sini.
Jadi, walaupun aku sedih karena tidak diistimewakan, tidak diingat, dan tidak diprioritaskan oleh manusia, setidaknya aku punya sumber bahagia dari ciptaan Allah yang lain.
Akhir akhir ini aku ngerasa kalau partner aku lagi ngerasa tersaingi sama aku :(( sedih rasanya kalau beliau salah paham begitu. Tapi semoga ini hanya sebatas suudzon ku saja.
Kayaknya udah selalu berusaha untuk jadi partner yang baik dan supportif bagi beliau... tapi...
Ah sudahlah.
Takut banget menyalahkan diri sendiri, karena aku gak mau kayak gitu lagi. Aku udah berjanji sama diri sendiri, di umur 25 tahun ini, harus bisa menyayangi diri sendiri dan gak ikut-ikutan membenci diri sendiri :"
Tapi timbul pertanyaan, apa aku memang orang yang pantas dibenci? Mengapa pandangan-pandangan tidak suka itu ditujukan kepadaku terus menerus?
Apa salahku :(((((
Tapi sampai sekarang aku berusaha kuat karena aku sadar membahagiakan manusia bukanlah tugasku. Jika mereka benci, memandang aku rendah, mengasihaniku...
Biarkan saja.
Karena sebaik baik tempat bersandar hanyalah Allah. đ
aku hampir tidak pernah membelanjakan uangku untuk sesuatu yang kurasa tidak perlu. Aku sangat sulit mengeluarkan uang untuk sesuatu yang sifatnya tidak primer atau bukan prioritas utama. saat berbelanja di supermarket atau toserba, aku akan memilih barang yang sekiranya aku butuhkan. Tidak jarang barang-barang lucu ataupun jajanan yang menggemaskan menarik perhatianku, aku terdiam lama berfikir untuk mengambil atau tidak. Beberapa tak jadi kuambil beberapa berhasil mengalahkan logikaku dan masuk ke keranjang belanja. Sebelum menuju kasir aku mempunyai kebiasaan melihat barang-barang belanjaan yang ada dikeranjang terlebih dahulu. Aku akan meninjau ulang barang-barang yang aku ambil dan memastikan semuanya barang yang akan kubawa pulang adalah sesuatu yang benar-benar aku perlukan dan tentunya tidak membuatku menyesal diakhir. Yass dan barang yang tadinya hanya sekedar keinginan akan aku kembalikan di raknya yang semula karena sudah melalui proses pertimbangan hehe. langkah menyortir ulang sebelum ke kasir ini cukup efektif karena melindungiku dari kegiatan berbelanja yang sifatnya impulsif. Karena aku tahu barang yang kubeli hanya sesuai dengan keinginan bukan sesuai kebutuhan hanya akan membuatku menyesal kemudianÂ
dear aku, tidak apa-apa. kamu kuat menahannya. tapi jika ingin menangis, menangislah sekarang. mumpung belum ada yang melihat.
kami menyebutnya kue doko-doko. tampilannya memang biasa, tapi jangan tertipu. teksturnya lembut dan rasanya pisang banget. buatan mamaku tidak ada duanya. aku bahkan nambah berkali-kali.
sebenarnya aku heran, kenapa susu pisang bisa hype banget di korea sana. belum pernah nyoba, tapi bayanganku susu pisang sangat tidak akan cocok di lidahku.
tapi saat mencoba kue doko-doko yang berbahan utama pisang ini, perspective-ku akan susu pisang berubah. bisa kubayangkan pisang akan seenak kue buatan mamaku kalau diolah dengan pas dan kreatif.
doko-doko pisang yang ku post ini adalah kenangan indah di bulan mei kelahiranku kali ini.
terima kasih mama.
dear Musa, My 3 years old
Ammah sedih hari ini mendengar kabar musa dilarikan ke rumah sakit karena dini hari tadi kejang menggigil dengan tatapan kosong dan bibir yang membiru. Ammah tidak bisa membayangkan bagaimana mamamu panik menangis saat melihat kondisimu.
Musa sayang, cepat sembuh dan ceria lagi ya nak. Ammah sayang banget sama Musa. di posisi yang dibatasi tembok jarak yang jauh darimu, saat ini Ammah sangat ingin memeluk Musa, walaupun Ammah tau Musa pasti akan berontak jika Ammah sentuh, apalagi peluk.
anakku Musa, yang sedari kecil hobi teriak-teriak dan ngamuk. gak mau disentuh kecuali oleh mama dan bapaknya. padahal Ammah gemes bgt sama kamu nak. Ammah pengen peluk, gendong, dan ajak kamu bermain. sayangnya Ammah mendekat sedikit saja sudah kamu usir dengan teriakan yang memekakan telinga. jadinya Ammah hanya bisa memperhatikanmu dari jarak beberapa meter.
seisi rumah mungkin kadang bosan dengan teriakanmu. di usiamu yang sudah melebihi tiga tahun, bicaramu masih belum jelas dan hanya mengeluarkan beberapa kata, kamu makan dengan sangat berantakan, nasi tercecer dimana-mana. apalagi jika sedang bertengkar dengan kakakmu Zakir, pasti seisi rumah heboh dan mamamu mulai pusing. nak, sungguh, kami lebih baik mendengar dan melihat keributan-keributan itu daripada melihatmu terbaring lemah diatas kasur putih rumah sakit dan berteman dengan selang infus yang acapkali ingin kamu singkirkan dari tanganmu.
musa sayang, semoga Allah segera memberikan kesembuhan padamu. doa ammah datang memelukmu dari jauh.
đ„
Aku anak rumah tangga yang tak pandai memasak
Aku kesal dan mengeluh jika orang-orang rumah mendapukku sebagai koki utama untuk makan malam keluarga. Bukan...bukannya aku males hyung, tapi karena aku insecure dengan ketidakmampuanku untuk menyenangkan lidah-lidah costumerku. ya ampun, aku sudah membayangkan masakanku tidak akan melewati indra pengecap mereka dengan sopan.
Saat aku memasak, ada saja kekurangannya. Nasi yang lembek, Ikan goreng yang gosong, sayur tumis yang over kuah, gorengan perkedel yang susah dikunyah saking kerasnya. Ehmm macam-macam. Dan rasa hambar adalah citarasa khas untuk semua jenis masakanku.
Aku hanya bisa mengomel sambil memasak, " gapapa nih orang-orang rumah makan masakanku ? Kan gak enak, kan hambar :( ".
Mama hanya menanggapi, " ya gak akan bisa enak kalau gak belajar, gak dilatih ".
Bahkan caraku memotong sayuran pun masih kena protes mama, " ya Allah ndah, motongnya jangan kecil-kecil gitu, tapi seperti ini..apa salahnya nak bertanya ".
Kupikir untuk memotong sayuran, aku bisa memakai insiatif dan instingku sendiri saja. Yaaa tapi ternyata inilah buktinya aku memang kurang dibidang memasak.
Tapi sebagai anak rumah tangga, aku tidak bisa menghindari pekerjaan rumah yang satu ini. Walaupun di sore hari aku sudah mengerjakan cucian piring yang banyaknya masya Allah, tetap saja tugas memasak makan malam tidak sah jika bukan aku yang mengerjakan, pasti suka dapet kodean tuh " wah udah jam berapa nihh makan malem belum ada ", yesss kadang aku masak kalau udah mendekati jam 9 malem, tadinya ngarep kakak yang ngerjain tapi tetep kaan wkwk. Fyi, untuk sarapan dan makan siang aku bebas tugas karena di jam tersebut aku sedang sibuk-sibuknya mengajar di kelas online-ku ( jadi wajar aja kalau aku yang diharapin untuk masak makan malam emang, wkwk gimanaa sih aku đ€Łđđ )
Tapi beberapa hari yang lalu, aku dapet teguran halus dari Allah lewat IG-TV nya si eteh geulis Ghaida Tsurayya, pokonya dari video si teteh aku diingetin kalau kegiatan memasak itu juga sebuah ibadah, bayangin seberapa banyak pahala yang kita hasilkan saat orang-orang rumah memenuhi kebutuhan primernya ( baca : makan ) dari hasil jerih payah kita, itu berarti kita memenuhi salah-satu tujuan kita diciptakan, yaitu menjadi orang yang bermanfaat. Apalagi menjadi orang yang bermanfaat untuk keluarga dekat sangat dianjurkan kan ? :). Hmmm... bener juga, selama ini aku suka mengomel saat memasak, ya mana mungkin bakal dinilai ibadah. Hiksss. Akutuu jadiii merasa bersalah sepenuhnya sama orang-orang rumah, karena gak membuatkan mereka hidangan yang dibuat dari hati. Ya Allah faghfirlii.
Dan sejak saat itu, aku bertekad ingin mahir dibidang memasak, yaaa paling tidak aku bisa menguasai basicnya. Tiap masak aku banyak bertanya dan belajar, dan mencari tahu apa saja kesalahanÂČ memasak yang biasa kulakukan sehingga tidak ada kemajuan....daaan tadaaa akhirnya kemampuan memasakku improved. Walaupun gak beda jauh sama yang udah-udah đ kadang masih suka hambar , kadang masih suka aneh juga rasanya.
Well, betapa indahnya perjalanan belajar yang landasannya berorientasi akhirat. Semangat! Semangat !!!
Alhamdulillaah udah mulai mendingan nyeri giginyaaa
Makasih ya Allaah
Tadi ditunjuk jadi MC acara tasmi', kirain bisa PD dan percaya diri..tapi ternyata aku gemetaran wkwkwk.
Mana pake nangis lagi đ« đ„č jujur malu..tapi aku terharu mendengar lantunan bacaan yang merdu dari siswa..maasyaAllaah
Bismillah.
Baru-baru ini saya menyadari suatu hal: jika kita bisa memandang keluarga sebagaimana kita memandang sebuah perusahaan, maka mengelola keluarga ternyata bisa lebih challenging daripada mengelola perusahaan.
Di sisi lain, jika kita mau serius mengelola keluarga seserius kita mengelola perusahaan, maka reward yang akan kita rasakan juga akan jauh lebih besar dibanding jika kita mengelolanya âala kadarnyaâ (seperti yang kita lakukan sekarang ini, mungkin).
Mari kita perhatikan beberapa aspek pada perusahaan yang bisa kita jadikan analogi terhadap keluarga: mengapa suatu perusahaan lahir, bagaimana suatu perusahaan dijalankan, dan bagaimana perusahaan berekspansi.
Pertama, mengapa suatu perusahaan lahir.
Paling tidak, biasanya ada dua alasan yang melatari lahirnya suatu perusahaan: (1) motif mencari keuntungan dan (2) hasrat ingin menyelesaikan suatu masalah atau ingin memberikan nilai tambah pada suatu hal.
Seberapa mungkin perusahaan yang lahir dengan proposisi lemah seperti âYa, karena saya harus membangun perusahaan? Masa tidak? Emang saya harus ngapain lagi?â akan menjadi perusahaan yang sejahtera dan berumur panjang? (Sangat kecil kemungkinannya menurut common sense sayaâtapi mungkin saya salah).
Sekarang coba kita jadikan ini analogi terhadap keluarga: mengapa suatu keluarga lahir. Kira-kira, keluarga seperti apa yang akan terbentuk jika alasan pernikahan dua insan yang membentuknya adalah, âYa, karena saya harus? Karena semua orang melakukannya? Karena sudah saatnya? Masa ngga nikah?â.
Bahkan, menurut pendapat saya, alasan âIngin beribadahâ atau âMenunaikan sunnah Rasulâ masih termasuk alasan yang terlalu general, terlalu luas, sehingga tidak menciptakan sense of directionâkita tahu tujuan spesifik kita, dan kita bisa mengukur di mana posisi kita saat ini relatif terhadap tujuan itu. Akibatnya, kehidupan setelah pernikahan seperti menaiki sekoci di lautan lepas tanpa kompas dan dayung, terombang ambing begitu saja, hanya mengandalkan takdir untuk bisa menemukan daratan.
Alih-alih, saya pikir sebaiknya dua insan yang mau menikah punya proposisi yang kuat untuk melakukan pernikahan. Meski trigger-nya adalah letâs say âcintaâ, tapi ngga ada salahnya kita berefleksi dan menyepakati apa yang mau kita capai dengan pernikahan ini.
Mungkin sebagian dari kita dulu punya hal seperti ini (âVisi pernikahan: mengubah dunia menjadi lebih baikâ), sayangnya di tengah perjalanan kita terdistraksi oleh berbagai hal lalu lupaâsebagaimana perusahaan yang sudah lahir, mulai established menjalani business as usual, lalu lupa akan true north star-nya.
Kedua, bagaimana suatu perusahaan dijalankan.
Katakanlah perusahaan mulai tumbuh. Hal-hal yang harus diurusi semakin banyak, sehingga perusahaan mulai hiring dan menempatkan orang dengan peran-peran spesifik.
Ada yang di-assign khusus mengurusi keuangan, ada yang khusus mengurusi manusia (HR), dan seterusnya. Semakin mature perusahaan, semakin banyak role âanehâ yang terbentuk dan memerlukan orang untuk memikirkannya, katakanlah impact manager, growth hacker, dan lainnya.
Dalam konteks perusahaan, hal ini gampang gampang susah. Tidak mudah, tapi selama ada uang dan ada leadership yang bagus, maka hal seperti ini bisa dikelola.
Dalam konteks keluarga, hal seperti itu susah susah gampang (susahnya 2x), karena kita tidak bisa hiring begitu saja. Beberapa tugas mungkin kita bisa assign ke orang lain, misalnya urusan beres-beres rumah ke asisten rumah tangga, urusan ngasuh anak sebagian kita berikan ke daycare/pengasuh/orang tua, urusan makanan kita assign ke GoFood. Tapi banyak sekali hal yang tidak bisa kita assign ke orang lain.
Urusan pengelolaan keuangan harus kita kerjakan sendiri (perencanaan, monitoring, evaluasi, dll) (kecuali kamu udah kaya dari dulu dan tinggal bayar financial advisor dan ikuti advice-nya, tapi saya ragu juga apakah kita bisa ikuti secara mindlessly).
Belum lagi urusan infrastruktur (sewa atau beli rumah? mobil, laptop, internet, mesin cuci, dll), itu semua harus direncanakan pengadaannya dan di-maintenance.
Belum lagi urusan pendidikan, baik formal maupun nonformal, bagi diri kita, pasangan kita, dan anak kitaâtumbuh kembangnya, lingkungan pertemanannya, lingkungan sekitarnya (polusi? aman dari kejahatan? dll), dan banyak lagi. Variabelnya kompleks.
Belum lagi urusan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan tetangga, hubungan dengan keluarga besar. Tidak bisa di-outsource.
Semua kompleksitas itu harus kita handle dengan dua kepala saja, kepala kita dan pasangan kita. Ini seperti punya perusahaan yang manajemennya cuma dua, lalu dua orang ini punya titel CEO, CFO, COO, CHRO, PR, dan berbagai peran lain secara horizontal dan vertikal.
Gimana tuh? Susah ngga?
Susah, kalau kita mau mengelola keluarga secara mindful, intensional, diniatin.
Gampang, kalau kita mau mengelola keluarga secara que sera sera, whatever will be will be, jadi apapun juga tidak peduli, tahu-tahu tua dan wafat.
Ketiga, bagaimana perusahaan berekspansi.
Suatu perusahaan bisa berekspansi jika model bisnis dasarnya sudah proven. Idealnya sih sudah profitable, walaupun dengan lahirnya tech startup kita melihat realitas lain (emang para unicorn itu udah profitable?).
Mereka sudah tidak struggle dengan urusan dasar lagi (highlight this, ini bottom line-nya). Mereka sibuk delivering more and more values untuk para pelanggan dan para pelanggan potensial.Â
Contohnya Google (kalau yang ini sih udah profitable). Saking banyaknya duit dia, dia punya ruang yang sangat besar untuk melakukan berbagai eksperimen yang secara bisnis ngga jelas apakah akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan atau tidak. Disposable money, burn-able money.
Kalau eksperimennya gagal yowes, move on. Kalau berhasil ya bagus, bisa jadi sesuatu. Misalnya, mereka bikin autonomous car yang mungkin baru kerasa manfaatnya 20 tahun mendatang, atau mungkin ada yang masih inget Google Glass (yang nampaknya muncul terlalu dini), atau Google Loon yang menyediakan akses internet di area rural pake balon udara.
Kalau kita bawa ke konteks keluarga, ini adalah keluarga yang udah deliver values to the people outside their family. Entah mereka bikin buku yang mengubah hidup orang, atau bikin workshop mengenal tujuan hidup kayak temen saya, atau membuat lapangan pekerjaan buat warga sekitar, dan lainnya.
Apakah mereka sudah selesai dengan berbagai urusan mendasar? Ini pertanyaan yang tricky. Memangnya kapan urusan mendasar bisa dikatakan selesai? Sulit menjawabnya.
Pendapat saya adalah apapun kondisi âurusan mendasarâ mereka, mereka sudah mampu memfokuskan perhatian dan energi mereka pada hal-hal di luar urusan mendasar itu (baca lagi bottom line di atas).
Mungkin secara materil uangnya ngga banyak. Mungkin uang kamu lebih banyak malah. Tapi mereka ngga ambil pusing dan ngga terlalu fokus di situ karena somehow mereka merasa aspek itu cukup lah.
Mungkin secara infrastruktur ngga sememadai infrastruktur kamu. Mungkin kamu ngga akan betah tinggal di rumah mereka. Tapi bagi mereka itu cukup, âletâs put our attention on something elseâ.
Kesimpulan.
Mungkin banyak dari kita yang mulai menjalani kehidupan keluarga secara business as usual. Berpindah dari satu gajian ke gajian lain, dari satu âpengen beli iniâ ke âpengen beli iniâ yang lain. Seriously, do you want to live your life like that forever?
Mungkin banyak juga dari kita yang lebih excited mengurusi pekerjaan di kantor, di kampus, atau di manapun tempat kita berkarya/mengabdi. Urusan rumah kita anggap membosankan, kurang menantang, tidak perlu mengeluarkan upaya terbaik kita (diajak ngobrol soal rumah sama pasangan, dalam hati kita âApasih?â, âYaudah nih uang biar cepetâ). Padahal bahkan seorang CEO belum tentu bisa mengelola rumah tangganya sendiri sebaik ia mengelola perusahaannya (so probably itâs not as easy-boring as it seems).
Mungkin juga banyak dari kita yang menengok rumput tetangga via Instagram lalu muncul desiran âingin seperti keluarga X tapi apalah daya takdirku beginiâ, lalu malah muncul penyakit hati iri dengki dan kawan-kawannya. Atau malah kita tidak mau kalah lalu berusaha mengimpresi orang-orang tentang keluarga kita, lalu kita menjadi budak citra, likes, dan pujian. Menderita ngga sih?
Mungkin dimulai dengan perspektif yang tepat, institusi yang namanya keluarga ini bisa jadi sarana aktualisasi diri kita yang utama. Mungkin dia bisa menjadi dongkrak atau bahkan rocketship bagi kita untuk jadi seseorang yang signifikan hidupnya.