Tidak ada yang tersisa kecuali
"Hanya Engkau Ya Allah"
Melalui pengeras suara Mesjid disalah satu wilayah palestina
Sehelai Sujud
Mungkin setelah alam kubur nanti,
Satu helai sujud dan desah tasbih di keheningan malam yang sunyi,
Akan jauh lebih kita cintai dibandingkan postingan ceramah-ceramah serta status-status nasihat kita di media sosial yang riuh dan ramai oleh like.
Ustaz Adni Kurniawan Lc
Listen to Surah Al-Qamar سورة القمر هزاع البلوشي by تلاوات خاشعة :: Tvquran22 on #SoundCloud
https://on.soundcloud.com/LKPCK
Salah satu pedang bermata dua yang dimiliki seorang perfeksionis adalah mentalitas “lakukan dengan sempurna, atau tidak sama sekali.”
Di satu sisi, ini membuat para perfeksionis bekerja dengan luar biasa jika mereka memang harus mengerjakan sesuatu. Di sisi lain, ini membuat mereka lumpuh manakala menghadapi sebuah urusan yang nampak besar dan kompleks.
Terbayang-bayang betapa besarnya energi yang mesti mereka miliki untuk membuat urusan besar nan kompleks itu “sempurna”; terbayang betapa tidak sempurnanya kapasitas dan sumber daya mereka saat itu. Stress jadinya.
Beruntung, semasa kuliah, sebuah buku berjudul “The One Thing”, tulisan Garry Keller, mengubah hidup saya yang merupakan seorang perfeksionis ini.
Inspirasi utama yang saya dapatkan dari buku itu adalah: dalam hidup, kita tidak perlu mengambil semua hal, melakukan semua hal, atau menjadi lebih baik dalam semua hal. Seringkali, kita hanya perlu peduli pada satu hal saja, dan itu cukup untuk membuat kita menjadi lebih baik.
Dahulu kala, jika saya membaca buku, biasanya saya ingin merengkuh semua poin yang disampaikan oleh penulis. Terlalu banyak informasi (fakta atau opini) yang nampaknya akan berguna (meski entah kapan dan bagaimana saya akan menggunakan informasi tersebut), yang terlalu sayang jika tidak mampu saya ingat baik-baik.
Agar bisa mengingat informasi-informasi tersebut, sebagian orang menandai bagian-bagian tertentu dengan stabilo. Sebagian lagi menulisnya dalam sebuah catatan, dan lain sebagainya.
Lalu, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, dengan upaya tersebut, memangnya seberapa banyak informasi yang akhirnya berhasil kita ingat? Seberapa sering (atau bahkan, pernah kah?) kita kembali ke tanda stabilo atau catatan kita?
Bagi saya sendiri, jawaban dari kedua pertanyaan tersebut tidaklah membahagiakan.
Alih-alih berusaha merengkuh semua informasi, saya menemukan bahwa jika saya hanya menangkap satu saja informasi yang paling mengesankan bagi saya, lebih besar kemungkinan saya mengingat informasi tersebut dalam jangka waktu lama.
Bahkan, informasi itu tidak sekadar menjadi ingatan “mati”–layaknya kertas yang menyimpan informasi, namun informasi itu tidak berguna bagi dirinya.
Dengan bertanya, “Apa satu hal paling penting dari buku ini?”, saya berhasil menangkap satu informasi yang lalu membekas dan ter-“install” dalam diri saya. Ia menjadi bagian dari diri saya.
Pertanyaan mengenai “Apa satu hal…” ini adalah pertanyaan yang perlu dibiasakan. Jika kita sudah terbiasa, maka kita bisa mengimplementasikannya dari level makro hingga ke level mikro.
Sebagai contoh, jika awalnya kapasitas kita hanya mampu menangkap dan mengingat “satu hal” dari sebuah buku, di tingkatan selanjutnya kita bisa bertanya “Apa satu hal paling penting dari bab pertama?”, lalu “Apa satu hal paling penting dari bab ke dua?”, dan seterusnya.
Efeknya, kita jadi lebih terbiasa “menerawang” benang merah di balik segala sesuatu, di berbagai level.
Kita jadi lebih terbiasa menangkap substansi, tidak terdistraksi oleh hal-hal yang non-substantif.
Ini tidak hanya berlaku pada buku. Ini adalah kebiasaan yang universal, yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks.
Ini semua membawa saya pada gagasan bahwa untuk menjadi seseorang yang sangat keren, kita tidak perlu berusaha menelan semua atribut sebuah hidup yang keren.
Misalnya, kita menuntut diri kita untuk memiliki karir yang bagus, karya yang booming, bisnis yang ekspansif, investasi yang bertumbuh, pikiran yang tahu segala hal, dan lainnya di waktu yang sama.
Mengapa? Karena kita akan kewalahan. Jika kita kewalahan, upaya kita akan berumur pendek, tidak berkelanjutan, tidak konsisten. Lalu pada akhirnya kita akan menemukan diri kita belum beranjak jauh dari titik awal.
Alih-alih begitu, beritahukan kepada diri sendiri bahwa kita cukup menjadi 1% lebih baik hari ini dibanding hari kemarin. Itu saja. Lakukan setiap hari.
Jika kemarin menjelang tidur kita habiskan dengan berseluncur di Instagram, hari ini menjelang tidur kita habiskan dengan menonton TED Talks, mungkin?
Jika hari ini saya tidak mendapat asupan pengetahuan baru, maka besok saya akan menghabiskan 15 menit membaca Blinkist, dan seterusnya.
Cukup satu persen saja perubahan kecil yang kita lakukan untuk diri kita di satu hari, lalu kita kunci perubahan tersebut di hari-hari setelahnya. Bayangkan, berapa persen perubahan yang akan terjadi pada diri kamu setelah satu tahun?
Selamat bertumbuh 1% lebih baik setiap hari!
jika di hadapan manusia kamu tidak ada artinya, sayang sekali jika di hadapan Rabb mu juga begitu.
restart, and heal
“The winner is the one who sells his world for his hereafter.”
— Ali ibn Abi Talib (Radhiallahu Anhu)
Rahasia umum kalau dunia kerja itu penuh dengan drama, pressure, politik kepentingan, circle²an, pokoknya banyak hal yang out of the box.
Untuk terbebas dari semua hal rumit itu kamu hanya perlu fokus dengan dirimu sendiri, fokus dengan apa yang dapat kamu kendalikan, tanggung jawabmu, serta perlakuanmu kepada orang lain.
Selebihnya bukan tanggung jawabmu; respon orang lain, sikap orang lain, kamu tidak bertanggung jawab akan hal itu.
Satu pesan pentingnya adalah; jangan pernah ikut andil dalam ghibah, terlepas dari apapun alasannya.
Suatu kemustahilan ketika kamu inginkan ridha dari semua manusia. Tak akan bisa.
Sesederhana meluaskan hati, memanjangkan sabar, menjaga lisan, fokus dengan apa yang ingin dicapai, dan itu CUKUP:)
Datang - Kerja - Pulang - Lupakan.
Dan tak lupa, tanamkan mindset ini:
1. Jangan berharap apapun dari tempat kerjamu. Lakukan saja tugasmu dengan baik dan sukai pekerjaanmu.
2. Bersikaplah netral dan sewajarnya, karena sikap too much akan membuat mereka sewenang-wenang, seolah tak ada batasan apapun.
3. Jangan meludahi sumur tempatmu minum. Sesederhana kalau sanggup lakukan, kalau tidak silahkan resign~
Rumit yaa, namun begitulah realita kehidupan dewasa. Semoga kamu kuat yaaa!
Ketika hati saya gusar, terganggu akibat suatu peristiwa di luar diri saya, kadang saya teringat dengan kisah sebungkus garam, sebotol air, dan sebuah danau—dengan berbagai versinya. Mungkin kamu juga pernah mendengarnya.
Berikut kisahnya—versi saya.
Seorang santri sedang berjalan bersama ustadznya ke sebuah tempat.
Mendapatkan kesempatan untuk mengobrol, Santri mengadu kepada ustadznya bahwa ia kesal setiap kali membuka media sosial. Pasalnya, ia sering menemukan orang-orang mem-bully kyai dan tokoh-tokoh panutannya yang ia anggap soleh.
Ia juga heran, bagaimana bisa kyai dan para tokoh panutan itu tetap tenang menjalani hidup di tengah segala caci maki, seolah tidak terjadi apa-apa.
Sang Ustadz tersenyum, mengajak Santri melewati sebuah danau yang tak jauh dari tempat tujuan mereka. “Tolong belikan sebotol air mineral di warung itu”, kata Ustadz. “Oh ya, sekalian, satu bungkus garam ya”.
Santri keheranan. Tapi, menduga bahwa ia akan mendapatkan sebuah jawaban, ia penuhi permintaan ustadznya tanpa bertanya.
Tibalah mereka di pinggir danau.
“Ini, Ustadz”, Santri menyerahkan air mineral dan garam yang diminta Ustadz.
Ustadz pun mengambil segenggam garam, dimasukkannya ke dalam botol berisi air mineral, lalu diaduknya sebentar. “Coba, rasakan air dalam botol ini”, kata Ustadz.
Dengan wajah agak meringis, Santri mencicipi air dalam botol itu. “Asin, Ustadz”, katanya dengan ekspresi wajah yang aneh.
Lalu, Ustadz melempar sisa garam yang ada ke danau.
“Sekarang, kamu rasakan air danau ini”, pinta Ustadz.
Santri pun memasukkan air danau ke mulutnya, layaknya berkumur untuk berwudhu. “Mm.. Tawar, Ustadz”, katanya.
Ustadz dan santri kembali berjalan. “Nah.. Botol dan danau ini seperti hati manusia. Ada hati yang begitu sempit, ada pula hati yang luas. Bagi hati yang sempit, sejumlah ujian bisa mengacaukan pemiliknya, layaknya garam yang membuat asin seisi air dalam botol. Tetapi bagi hati yang luas, ujian yang sama mungkin tidak akan cukup untuk mengganggu sang pemiliknya, sebagaimana sebungkus garam yang hilang tanpa meninggalkan rasa di danau tadi.”
Santri pun berefleksi. Pikirnya, mungkin hatinya masih sekelas botol air mineral, sementara hati kyai dan tokoh-tokoh panutannya sekelas danau luas. Ah, saatnya belajar melapangkan hati.
Bisa relate?
Nah, pertanyaannya, gimana cara kita melapangkan hati?
Kapan-kapan kita eksplorasi.
Halo, Kak Dea! Aku suka banget baca tulisan2 Kak Dea dan sudut pandang kakak, sampe nyalain notif spy bisa langsung baca tiap kali Kak Dea posting tulisan baru hehe Kalau berkenan dijawab sih kak, mau berbagi gimana Kak Dea menghadapi life quarter crisis tidak? Me feeling happy finally bisa menyapa meski lwt anonim dan brtanya spt ini hehe Semoga hari kakak menyenangkan dan sllu sehat ya Kak De! Terima kasih!
Ah thanks :D
Makasih ya doanya.
Sebenernya, krisis dalam kehidupan kita itu banyak. Cuman mungkin yang banyak dibicarakan orang tuh Quarter Life Crisis. Mungkin karena di fase ini, sebagian besar orang mulai menghadapi hal berat dalam hidupnya. Meskipun banyak juga yang udah hidup dengan berat di usia belasan.
Bagaimana saya menghadapi Quarter Life Krisis?
Saya mengidentifikasi problem di Quarter Life Krisis saya antara lain:
1. Keputusan dalam berkarir
Saya tipe orang yang suka membuka banyak opsi. Tidak segera mengerucut ke satu pilihan sebelum benar-benar terdesak. Selama ini, saya jadi dosen sekaligus kerja freelance dan agak serabutan. Apapun yang penting halal dan menghasilkan uang, saya kerjakan wkwk.
Tapi, ketika usia kita bertambah, kita akan menyadari bahwa akan ada banyak hal di luar pekerjaan yang harus kita perhatikan. Di quarter life crisis, kamu harus figuring out karir kamu akan berjalan ke arah mana biar kamu bisa membangun skill set untuk menapaki jenjang karir selangkah demi selangkah. Fokus. Kita nggak selamanya punya waktu mengeksplore banyak hal. Kelak, kita pasti disibukkan dengan hal lain. Jangan terkecoh ke achievement orang lain atau merasa sedih karena achievement kamu rendah.
Achievement itu hanya perkara waktu kalau kamu istiqomah. Kita kadang menganggap achievement sebagai trophy. Saya sendiri pelan-pelan merubah pandangan. Achievement seharusnya jadi peta yang menunjukkan kita harus berjalan ke arah mana. Bekerja tanpa mentargetkan achievement yang dituju akan membuat kita terbang kemana-mana. Tidak fokus. Andaikan achievement yang kita inginkan nggak tercapai, yang kita lakukan adalah mengevaluasi skill mana yang kurang, ataukah kita perlu merubah target dan seterusnya.
Dalam hal ini, kenali dirimu dengan baik. Jangan melihat orang lain. Kalau kamu melihat orang lain, don’t see what they have. See what they do. Saya sendiri, belakangan jadi punya role model.
Dalam urusan penelitian, saya melihat topik-topik penelitian profesor dari NYU karena penelitian tentang game banyak dibuat di sana. Sementara dalam berkarya, saya selalu melihat Mbak Puty Puar sama Pak Pinot Ichwandardi. Saya memang bukan ilustrator. Tapi vibe positif dari mbak Puty dan Pak Pinot sekeluarga semacam nular dan bisa bikin saya happy lagi.
2. Pernikahan
Sebenernya di inbox saya beberapa kali ada pertanyaan gimana biar ga panik nungguin jodoh. Kenapa kok jodoh datangnya lama. Saya udah agak bosen dengan topik ini. Tapi jadinya saya bahas semoga ada yang baca dan nggak nanya lagi.
Semua hal yang terjadi di dunia ini sudah dihitung sebaik-baiknya sama Allah. Kamu mau merengek, ngeluh, nanya seribu kalipun nggak akan berubah. Yang harus kamu lakukan ya tenangkan diri, tenangkan orang tua kita dan tetap jalani hidup dengan baik.
Tiap bicara tentang pernikahan, teman saya di usia 23 banyak bicara tentang kebahagiaan. Umur 25 mulai banyak yang bicara tentang baby blues sydrome dan siklus hidup yang banyak berubah. Selagi kamu masih sendiri, belajarlah hidup dengan baik dan minimalkan segala hal yang tidak perlu. Belajar berempati dengan masalah orang lain. Mungkin itu juga akan melembutkan hati kita sehingga kita bisa memahami bahwa tidak ada takdir yang buruk. Semua sudah dihitung dan setiap kesabaran selalu diganti dengan pahala yang baik.
3. Finansial
Di usia Quarter Life, kita umumnya udah memegang uang sendiri. Akan ada banyak tawaran kosmetik, baju, mobil, tanah, rumah dan seterusnya. Kalaupun kita nggak ditawari, kita bakal menyaksikan teman kita beli rumah baru, beli mobil baru dan seterusnya.
Dalam hal ini, saya sangat terbantu dengan gaya hidup minimalis. Minimalis mengajarkan kita untuk mengenali diri kita dengan baik berikut kebutuhan-kebutuhannya. Kalau kamu cewek, kamu mungkin perlu define style baju, make up dan skincare kamu. Ini bakal ngebantu kamu banget. Soalnya tiap ada barang baru di IG, sekalipun itu lucu, tiap kita mau nyoba, akan ada dua penolakan dalam hati:
“Oh ini nggak match sama style saya“
kalaupun dia match, masih ada penolakan:
“Oh warna kayak gini sudah ada di lemari“
Saya sendiri selama beberapa tahun ini jarang belanja baju. Saya sudah terbiasa dengan style yang basic banget. Enggak aneh-aneh. Jadi kalo ngelihat baju baru, udah ga yang se-excited dulu.
Saya masih excited sama make up dan skincare. Tapi belakangan, saya sudah cukup nemu style yang cocok. Makanya udah nggak nyobain lagi.
Intinya sih, pas kamu ngadepin Quarter Life Crisis, sudahi segala pikiran yang tidak perlu. Berusahalah menyederhanakan banyak hal. Akan lebih baik kalau kita mengenali diri kita dengan baik sehingga kita tidak mudah terbawa arus.
Dunia ini ramai dan akan selalu ramai. Pikiran kitalah yang bisa mereduksi noise.
Semangat :)
Alhamdulillah bukos mau tanggung jawab, dilapin lah bekas pipisnya si ucing.
sayangnya bukos ngelap pakai kain yg dibasahi air biasa ajaa, gak pakai sabun atau detergent.
sama aku dilap ulang, disemprotin segala macam pewangi dan parfum yang kupunya :(((
tapi tetep masih ada ajaa baunya huhuhu