Ternyata aku masih menjadi pemuda kebanyakan. Pendirian yang masih terombang-ambing. Ingin ini dan itu yang jelas berkebalikan. Salahkan mata. Mencintai keindahan yang salah. Semoga hati ini entah dengan pelan atau langsung mencerabut mampu membawa kembali dengan tap tap tap tatapan yang benar.
This week, we’re getting into the Halloween spirit with 10 spooktacular things to let your imagination run wild.
It’s not Halloween without our favorite scary characters, but what if they could stop bothering us Earthlings and go far, far away? We begin with where Dracula, Frankenstein, and other creepy creatures might choose to live if the galaxy were theirs to claim…
The prince of darkness himself, Dracula, can finally seek sweet respite from the Sun. We think he’d love to live on a rocky planet named YZ Ceti d that orbits so close to its red star that it’s tidally locked keeping one side of the planet in perpetual nighttime and the other side in perpetual daytime, with a brilliant red sky (though we can guess which side Dracula will prefer).
Home sweet home for our furry Full Moon friends might just be on Trappist-1, a planetary system with seven planets—and where standing on one planet would mean the other planets look like six moons (some as big as our Moon in the sky).
We couldn’t think of anyone better to live on Proxima b than The Mummy. Hopefully this ancient monster can finally rest in peace on an exoplanet that scientists theorize is a desert planet once home to ancient oceans.
One scientific experiment we’d like to conduct: whether Frankenstein would rather live on HAT-P-11b or Kepler-3b, theorized to have fierce thunderstorms and lightning.
We’re pretty confident that if zombies were to pick a planet, they’d want one that shares their love of death and destruction. We think they’d feel right at home on one of the pulsar planets, which are scorched by radiation because they orbit a dead star.
Skeletons need look no further: Osiris, an exoplanet that’s so close to a star that it’s “losing its flesh” as the star destroys it, seems like a perfect match.
For kids out there, turn pumpkin decorating into an out-of-this-world activity with space-themed stencils, from Saturn to the Sun.
Cassini’s radio emissions from Saturn could give creaky doors and howling winds a run for their money. Listen to the eerie audio recordings here and find more HERE.
NASA engineers design and build robots that can fly millions of miles to study other planets for a living—so on Halloween, they can’t help but bring that creative thinking to the grand old tradition of pumpkin carving. Take a cue from their creations with these insider tips.
From blades of ice on Pluto to a fuzzy, white “bunny” photographed on Mars, become a solar system sleuth and see if you can solve the stellar mysteries in this slideshow (then compare with how scientists cracked the case).
Make sure to follow us on Tumblr for your regular dose of space: http://nasa.tumblr.com.
Mencoba diam dan mengikuti nurani. Perlahan. Seterusnya.
NN
Millenials, entah dalam konotasi yang negatif atau positif tapi memiliki jalur kehidupan yang memang unik. Ada yang hidup untuk mencari eksistensi dan pengakuan dan ada yang hidup untuk egois saja, memikirkan celah sekecil mungkin untuk bisa memberi egonya makan tanpa harus nampak di permukaan.
Ada satu pola yang terlihat bagi 'sesungguhnya' mayoritas millenials (yang kuikuti) bahwa tidak ada ketertarikan membagi lebih apa yang seharusnya bisa bermanfaat. Seolah membagi yang berbeda akan menghadirkan cibiran orang. Lalu mereka yang sebetulnya luar biasa bersinar justru tidak pernah repot menampakkan betapa pribadinya sungguh cerdas dari pikir dan polahnya. Hanya ada sesembahan artifisial yang berlomba-lomba diperlihatkan.
Justru yang menghadirkan hal yang bermanfaat bukan dari orang yang benar kita butuhkan ilmunya. Terkadang yang menunjukkan sesuatu yang bermanfaat adalah orang yang menurut pandangan kita berada jauh di atas level kita. Sampai perlu mendongak untuk coba mengkhayalkan atau mengangankan ada di posisi itu. Dan permasalahan yang terjadi selanjutnya adalah orang-orang pada level tertentu ini mencoba mengimitasi sesuatu yang tidak menjadi kesehariannya tetapi yang mereka lupa itu adalah pekerjaan orang yang berada di level atas. Tanpa sadar setiap hari yang dilakulan oleh manusia-manusia ini adalah mendongak.
Di saat mulai lelah dengan manusia artifisial ini dan mendongak sudah menjadi keahlian, kemudian ada bertubi-tubi sebentuk manusia lain yang datang dalam sosok yang begitu nyata. Terasa dekat dan realistis dengan kehidupan kita. Tetapi dengan perbedaan nasib yang sungguh sangat berbeda di saat akses yang dimiliki sebenarnya sama. Manusia-manusia yang penuh pengakuan ini kemudian menjadi satu komunitas yang masif dan membuat sebagian orang lainnya (yang sama atau merasa sama visinya) akan terus-terusan mendongak.
Membiasakan diri melihat sesuatu yang nampak luar biasa di mata kita akan berbahaya saat kita mulai resisten dan merasa itu hal yang biasa, di saat sebenarnya kita dari awal mendongak sampai merasa biasa saja itu tetap tidak melakukan apa-apa. Kita bisa saja mengelompokkan orang-orang yang begitu sureal sampai ke kelompok orang yang seolah masih bisa kita samai walaupun kondisinya jauh di atas kita. Asal kita tetap konsisten mendongak. Lalu mengikuti apa-apa hal paling masuk akal yang bisa kita ikuti. Kelompok yang begitu sureal biarkan tetap menjadi inspirasi, karena tidak pernah dipungkiri bahwa mereka adalah chandelier yang membuat ruang gerak kita menjadi terang dan nampak indah.
Kalau kita tidak hanya terpana dengan chandelier itu dan tetap berjalan menuju ruang temaram yang indah dan hangat, mendongak tidak apa-apa. Nyatanya memang chandelier itu yang membuat mudah semuanya. Atau harus dikatakan trigger karena setidaknya dia yang merasa bahwa kita pantas berada di satu ruangan dengan dekorasi yang indah.
Rasa yang membuncah ini harus aku mintai pertanggungjawaban pada siapa? Ini bukan rasa tentang apa yang banyak menjadi perbincangan kebanyakan manusia pada usiaku. Ini rasa tentang yang tak aku tahu apa namanya. Rasa yang tak tahu bagaimana aku harus menghadapinya, terlebih melepaskannya. Kenapa melepaskan? Karena sungguh ini bukan rasa permen cups a cup atau es krim hula-hula yang sering dicecap. Ini tentang rasa yang sama sekali tanpa deskripsi. Setidaknya aku yang belum pernah merasakan buncah ini sehingga tak mau sok tahu mengartikannya. Kalau boleh, aku cuma ingin bagaimana rasa ini bisa lepas. Iya, lepas. Lepas dan tak pernah datang lagi. Atau datang di saat aku sudah mampu memahami dengan proses yang entah bagaimana di depan nanti. Biarkan rasa ini lepas dan tetap menjadi tanya yang ditunda jawabnya.
Menjadi lelah dan tak tahu arah menyebabkan kuping berdenging semakin sakit. Aku rindu rumahku. Aku rindu masa kecilku. Aku rindu temanku. Aku rindu surau itu. Aku rindu mengaji. Aku rindu semuanya. Semuanya yang terjadi di kampung halamanku. Disini aku apa? Marantau membuatku menjadi ringkih. Proses yang tak tahu apa ini namanya. Proses yang mengatasnamakan kebenaran atas ego yang ketempel nafsu. Persepsi-persepsi yang semakin membuatku buncah oleh segala hal yang harusnya diakhiri dengan segera justru membuat makin sesak tak tertolong. Persepsi atas kebenaran diri ternyata menjadikanku kaya dan tersungkur. Kaya emosi digdaya dan lemah pada nurani.
Entah ini apa namanya. Hidupku sudah terlalu lurus selama ini. Kata orang bijak hidup mengeluh tak akan menghasilkan apa-apa. Tapi au tak bis menghilangkan belenggu malas dan menunda. Aku sama sekali tak tahu apa itu proses yang harus dijalani. Yang aku tahu, saat ini aku takut tak bisa mengakhiri. Takut semuanya menjadi candu. Takut semua menghitam dan tak secercah asa nampak daripadanya. Tapak-tapak dan rabaan tetap saja membuatku tak menjadi lebih baik. Begini saja. Setiap harinya. Entah egoisme-egoisme ini telah menjadi kerak yang tak bisa disikat. Menjadi jamur yang sukar dicabut. Entah hidup seperti apa yang membentang menjadi jalanku nanti. Sejelasnya, aku tidak hanya akan diam. Aku sedang mencoba sebuah keteraturan. Menjadi lebih pantas sebagai penumpang. Menjadikan indah perilaku ku sebagai makhluk yang punya Tuhan.
Beautifully waiting -
Success depends upon previous preparation, and without such preparation there is sure to be failure.
Confucius (http://www.brainyquote.com)
Hey aku sibuk dan tak punya banyak waktu. Jangan menikamku dalam angan-angan semu. Aku bukan apa-apa. Aku bukan siapa-siapa. Aku tak memiliki apa-apa. Apa yang membuatmu merasa berkuasa atas tubuh bobrok ini? Hentikan deretan nada itu. Hentikan desah hujan yang menutupi aliran air mata. Hentikan semuanya! Hentikan semua perbudakan ini. Sungguh, aku lelah. Kalau begini terus aku bisa membenci takdir.
Ini bukan proses pendewasaan. Ini penderitaan tiada akhir. Bukan aku tak bersyukur atas semua ini. Aku hanya tak mampu mengungkapkannya lewat tubuh yang terlanjur diperbudak. Lewat tingkah yang terlanjur diperintah. Semuanya sudah tersetting. Perlahan. Berpendar. Hanya menunggu.waktu. Apakah akan hancur atau bercayaha kembali.
Sejelasnya kondisi ini sangat menyiksa. Tak ada satu hal-pun yang mampu meredam dan menyelamatku dari siksamu. Aku harus menepi kemana? Kau yang seharusnya menjadi bagain terpenting hidupku justru menggerogoti tegak ku untuk terus dalam kondisi rapuh. Agar bisa kau perbudak. Buat apa kau dikaruniakan padaku? Jika pada akhirnya kau yang menjadi penentu kehancuranku. Tidak..tidak sampai kapanpun aku akan terus berusaha untuk membalik arah dan berganti menjadikanmu sahabat.
Allah tengok usaha kita. Jangan risau. Selebihnya serah pada Allah. Doa sampai nangis. Usaha sampai habis!
(via alfaroqiah)
:') ini cukup!
Human behavior flows from three main source : desire, emotion, and knowledge. The only true wisdom is in knowing you know nothing-
233 posts