Laravel

Borneo - Blog Posts

2 months ago

Dialog Merasa

Dialog Merasa
Dialog Merasa

Perjalanan ke Merasa bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang membuatku kembali bertanya tentang hubungan manusia dengan alam, tentang warisan yang ditinggalkan leluhur, dan tentang jejak yang ingin ditinggalkan di dunia ini.

Aku datang membawa pertanyaan, kegelisahan, dan dorongan untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana masyarakat Dayak Kenyah memaknai hidup mereka, sebuah kehidupan yang berpijak pada keseimbangan dengan alam, bukan eksploitasi atasnya.

Dialog Merasa
Dialog Merasa

Merasa menyambutku dengan lanskap yang nyaris mistis—tebing karst yang menjulang, Sungai Kelay yang mengalir tenang, kebun kakao yang subur, dan di dalam rimbanya, orang utan yang berjuang untuk kembali ke rumahnya.

Salah satu titik perenunganku terjadi di Batu Lungun, makam leluhur masyarakat Dayak yang berusia lebih dari tiga abad. Makam-makam ini, yang dahulu menjadi tempat peristirahatan jasad dan benda-benda peninggalan leluhur, kini tak lagi utuh. Aku berdiri di depan tebing yang menyimpan sejarah panjang, menyadari bahwa waktu dan tangan-tangan manusia telah banyak merenggutnya. Lungun yang kosong itu bukan sekadar kehilangan artefak fisik, tetapi juga kehilangan makna, kehilangan penghormatan pada mereka yang datang sebelum kita.

Di depan Lungun, aku merasakan suatu keheningan yang berat. Seperti ada suara-suara yang mencoba berbicara dari masa lalu, mencoba mengingatkan kita bahwa tanah yang kita pijak bukanlah sekadar ruang kosong, tetapi ruang yang penuh dengan cerita, dengan roh, dengan sejarah yang masih bernapas. Aku bertanya-tanya, jika leluhur yang dimakamkan di sini masih bisa berbicara, apa yang akan mereka katakan tentang dunia yang kita tinggali sekarang?

Dialog Merasa
Dialog Merasa
Dialog Merasa

Lalu aku kembali menyusur Sungai Kelay menuju kebun kakao, di mana masyarakat Kampung Merasa bekerja setiap hari. Di sini, tanah bukan sekadar lahan produksi, tetapi bagian dari hidup yang dirawat dan dipahami. Tidak ada keserakahan, tidak ada dominasi atas alam, hanya keterhubungan yang terjalin dalam siklus yang mereka jaga bersama.

Di pondok kecil di antara pohon kakao, aku duduk mendengarkan para petani bercerita. Ada sesuatu yang begitu intim dalam momen ini—sebuah rasa kebersamaan yang muncul hanya ketika seseorang benar-benar hadir, mendengar tanpa tergesa, melihat tanpa menghakimi.

Puncak perjalananku adalah saat aku berkunjung ke Pulau Bawan, menyaksikan orang utan yang sedang dalam masa rehabilitasi sebelum kembali ke hutan. Aku melihat mereka bergerak, memanjat, dan perlahan-lahan belajar kembali bagaimana menjadi bagian dari alam. Ada harapan di sana, tetapi juga kesedihan. Aku memikirkan bagaimana manusia sering kali menjadi penyebab kehancuran, tetapi juga satu-satunya yang bisa memulihkan. Aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku bagian dari kehancuran itu? Ataukah aku bisa menjadi bagian dari pemulihan?

Dialog Merasa

Pada dini hari setelah kembali dari perjalanan ini, aku terbangun dan menatap bulan yang perlahan meninggalkan malam. Kali ini, aku tidak merasa kosong. Aku membawa pulang sesuatu dari Kampung Merasa. Sebuah pemahaman baru tentang apa artinya hidup, tentang bagaimana kita bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari kehancuran, tetapi bagian dari upaya memulihkan.

Merasa mengingatkanku bahwa di tengah dunia yang serba cepat ini, ada ruang bagi keheningan, bagi hubungan yang lebih dalam dengan alam, bagi penghormatan terhadap sejarah. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa hidup sepenuhnya seperti masyarakat Dayak Kenyah, tetapi aku bisa belajar dari mereka. Aku bisa mengingat bahwa keberlanjutan bukan sekadar inovasi, tetapi juga penghormatan terhadap yang telah ada sebelum kita.


Tags
Loading...
End of content
No more pages to load
Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags