Laravel

Decoloniality - Blog Posts

2 weeks ago

Dekonstruksi Mitologi "Calon Arang"

Dekonstruksi Mitologi "Calon Arang"

Toeti Heraty (1933–2021): Dekonstruksi Mitologi Calon Arang dalam Perspektif Feminisme

Toeti Heraty adalah seorang filsuf feminis Indonesia yang dalam karyanya Calon Arang mempertanyakan kembali narasi yang telah diwariskan dalam tradisi Jawa-Bali. Calon Arang dikenal sebagai Rangda, janda tua yang dituduh menguasai ilmu hitam, melawan Barong dalam pertunjukan sakral. Rangda melambangkan kekacauan dan energi destruktif, sementara Barong melambangkan keseimbangan dan perlindungan.

Namun, Toeti Heraty menantang narasi ini. Ia mempertanyakan, apakah perempuan seperti Calon Arang benar-benar perempuan jahat? Ataukah ia hanyalah perempuan yang ditindas karena menolak tunduk pada sistem patriarki yang mengekangnya?

Toeti membaca kisah Calon Arang bukan sebagai dongeng tentang penyihir jahat, melainkan sebagai kritik atas narasi misoginis dalam sejarah. Ia menunjukkan bagaimana perempuan yang berpengetahuan dan berdaya selalu dianggap sebagai ancaman dan berbahaya, baik dalam mitos kuno maupun realitas modern.

Ketubuhan Perempuan yang Distigmatisasi

Toeti Heraty juga membongkar bagaimana tubuh perempuan dikonstruksi dalam masyarakat patriarkal. Pengalaman biologi perempuan, seperti menstruasi, kehamilan, kehilangan keperawanan dilihat sebagai sesuatu yang harus disembunyikan atau diatur sesuai norma sosial yang mengekang.

"Tubuh sehari-hari tiba membawa luka sendiri." Ia menggambarkan menstruasi sebagai luka yang disembunyikan, sebuah pengalaman biologis yang dibebani stigma. "Luka ini tersembunyi dan iklan-iklan gencar dalam upaya mulus menutupi." Kapitalisme pun ikut berperan, dengan iklan yang menampilkan menstruasi dalam bentuk cairan biru, seolah ingin menghapus jejak biologis perempuan.

Keperawanan pun sering kali menjadi standar moral bagi perempuan, sementara laki-laki tidak dikenai standar yang sama. Janda mengalami tekanan sosial yang berbeda dengan duda, mereka dianggap membawa sial atau tidak laku.

"Demikianlah persepsi bahwa perempuanlah kiranya perlu laki-laki daripada sebaliknya." Toeti Heraty menyoroti bahwa dalam banyak kisah, perempuan diposisikan sebagai sosok yang selalu membutuhkan laki-laki. Ini adalahnarasi yang terus direproduksi dalam mitos maupun kehidupan nyata.

Cinta dan Jebakan Biologis

Toeti juga mempertanyakan konsep cinta.

"Cinta sebagai ilusi… ternyata jebakan biologis." Cinta sering kali menjadi alat justifikasi bagi perempuan untuk terjebak dalam sistem patriarkal. Masyarakat mengagungkan cinta, tetapi di balik itu, perempuanlah yang sering kali menanggung konsekuensi biologis dan sosial dari hubungan yang mereka jalani.

"Proyeksi pria yang haus kuasa, membenci dan mendendam sekaligus takut perempuan, itulah misogini." Patriarki tidak hanya membatasi peran perempuan dalam masyarakat, tetapi juga menciptakan narasi yang menakutkan tentang perempuan yang memiliki kekuatan.

Politik, Kekuasaan, dan Perempuan

Toeti Heraty juga menghubungkan kisah Calon Arang dengan realitas politik di Indonesia.

Mpu Baradah datang menemui Sri Mpu Kuturan di Bali yang lebih sakti lagi, untuk diminta persetujuannya atas niat Sang Erlangga menempatkan salah satu putranya pada tahta di Bali. Kisah ini mencerminkan bagaimana kekuasaan diwariskan melalui persekongkolan elite, bukan atas dasar keadilan.

"Bandingkan nepotisme masa kini, kini di Irian, Dili, Aceh… daerah menjadi proyek oleh pemerintah pusat, tidak jelas." Toeti menunjukkan bahwa pola eksploitasi kekuasaan terhadap daerah masih terus berlanjut. Papua, Timor Timur, dan Aceh seringkali hanya menjadi objek kebijakan pusat, tanpa diberikan hak penuh atas diri mereka sendiri.

Di masa kerajaan, upeti diserahkan kepada penguasa pusat. Kini, eksploitasi daerah terjadi dalam bentuk lain. Sumber daya alam dikeruk, sementara kesejahteraan masyarakat lokal tetap tidak merata.

Ratna Manggali: Perempuan dalam Jebakan Patriarki

Kisah Ratna Manggali yang menyerahkan ibunya sendiri kepada Mpu Bahula mencerminkan bagaimana perempuan ditekan untuk tunduk pada kehendak laki-laki, bahkan jika itu berarti mengorbankan sesama perempuan.

Mpu Bahula tidak merayu Ratna Manggali atas dasar cinta, tetapi sebagai strategi politik untuk mencuri kitab suci dan menghancurkan Calon Arang. Perempuan dalam budaya patriarkal sering kali dijadikan alat dan objek, tanpa kuasa penuh atas pilihan mereka sendiri.


Tags
Loading...
End of content
No more pages to load
Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags