Di tengah ramainya ceramah, kultum, dan siaran rohani Islam sepanjang Ramadhan ini, tulisan yang ada di link ini cukup menarik. Pak Ahmad Sarwat menceritakan bahwa “ilmuwan” Islam ada berjenjang tingkatnya dengan otoritas keilmuan masing-masing. Banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi ahli syariah atau ahli fiqih.
Membaca tulisan ini, aku menyadari betapa ceteknya ilmu agamaku. Aku sudah Islam dari sejak lahir, namun rasanya masih mualaf sejak kuliah. Kemualafanku berawal dari membaca tulisan tentang ilmu-ilmu sains dalam Al-Quran. Pak Agus Suryanto dalam tulisannya menekankan bahwa Al-Quran sering sekali mengeluarkan frase, “la’llaqum tattaqun” atau “bagi orang-orang yang berpikir” (semoga tulisannya tidak salah :p). Banyak ayat yang diakhiri dengan “demikian tanda bagi orang-orang yang berpikir”. Jadi? Islam adalah agama untuk orang-orang yang berpikir. Tidak asal terima ucapan seseorang tentang syariah atau fiqih. Semua harus dicek kebenarannya atau kita termasuk golongan yang menyebarkan kebohongan.
Aku sadari aku takut mengetahui kebenaran. Aku sengaja tidak menanyakan sesuatu karena aku kawatir mengetahui apa yang aku lakukan adalah salah. Aku akan terjebak dalam kondisi di mana aku punya kewajiban menyebarkan ilmu itu, yang aku sadari berat. Jika aku tidak melakukannya, kesalahan yang dilakukan orang-orang di sekitarku adalah dosaku. Aku menjadi orang yang membiarkan kemungkaran.
Jelas sekali itu tidak benar. Kita berlayar dengan kapal yang sama. Satu kemungkaran yang dibiarkan akan menenggelamkan seluruh kapal. Contohnya sudah kita lihat sehari-hari: muslim dicap teroris dan anarkis. Tentu tidak ada yang instan; Rasulullah butuh waktu bertahun-tahun sampai seluruh kaum Quraisy mau menerima Islam sepenuhnya. Yang bisa kita semua lakukan sebagai (insya Allah) pasien yang tercerahkan adalah belajar dan istigfar sambil selalu memohon hidayahnya. Wallahu’alam.