‘Enduring fire burns, everlasting frost melting, the sand and earth weep’
Every window I find is your reflection in the pane.
It happens that life is not always so beautiful, sometimes bad days happen even if we have done nothing different.
Sometimes people let us down, plans change, things don't go as expected, and we call those "bad days". And it's okay to do it, what is not okay is to judge ourselves for it.
Bad days will only have the place we give them, because just like everything else, bad days also pass.
So when you have a bad day, you can decide to follow it up with a bad night, and turn the night into a nice time of reflection.
It is up to you.
"Let me tell you something about nature. Nature never allows you to fall on your face if you take risks - never. It goes like this;
if you laugh you risk appearing to be a fool.
If you weep, you risk appearing to be sentimental.
If you reach out for another, you risk rejection.
If you love, you risk not being loved in return.
If you place your dreams in front of the crowd - as we do - you risk ridicule.
If you go forward in the face of overwhelming odds, you risk failure but risk must be taken for the greatest hazard in life is to risk nothing.
The person who risks nothing, has nothing, does nothing, is nothing. That person may avoid suffering, pain and embarrassment but that individual will not learn, grow, feel, love or change. Only the person who takes risks is truly free."
Perjalanan ke Merasa bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang membuatku kembali bertanya tentang hubungan manusia dengan alam, tentang warisan yang ditinggalkan leluhur, dan tentang jejak yang ingin ditinggalkan di dunia ini.
Aku datang membawa pertanyaan, kegelisahan, dan dorongan untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana masyarakat Dayak Kenyah memaknai hidup mereka, sebuah kehidupan yang berpijak pada keseimbangan dengan alam, bukan eksploitasi atasnya.
Merasa menyambutku dengan lanskap yang nyaris mistis—tebing karst yang menjulang, Sungai Kelay yang mengalir tenang, kebun kakao yang subur, dan di dalam rimbanya, orang utan yang berjuang untuk kembali ke rumahnya.
Salah satu titik perenunganku terjadi di Batu Lungun, makam leluhur masyarakat Dayak yang berusia lebih dari tiga abad. Makam-makam ini, yang dahulu menjadi tempat peristirahatan jasad dan benda-benda peninggalan leluhur, kini tak lagi utuh. Aku berdiri di depan tebing yang menyimpan sejarah panjang, menyadari bahwa waktu dan tangan-tangan manusia telah banyak merenggutnya. Lungun yang kosong itu bukan sekadar kehilangan artefak fisik, tetapi juga kehilangan makna, kehilangan penghormatan pada mereka yang datang sebelum kita.
Di depan Lungun, aku merasakan suatu keheningan yang berat. Seperti ada suara-suara yang mencoba berbicara dari masa lalu, mencoba mengingatkan kita bahwa tanah yang kita pijak bukanlah sekadar ruang kosong, tetapi ruang yang penuh dengan cerita, dengan roh, dengan sejarah yang masih bernapas. Aku bertanya-tanya, jika leluhur yang dimakamkan di sini masih bisa berbicara, apa yang akan mereka katakan tentang dunia yang kita tinggali sekarang?
Lalu aku kembali menyusur Sungai Kelay menuju kebun kakao, di mana masyarakat Kampung Merasa bekerja setiap hari. Di sini, tanah bukan sekadar lahan produksi, tetapi bagian dari hidup yang dirawat dan dipahami. Tidak ada keserakahan, tidak ada dominasi atas alam, hanya keterhubungan yang terjalin dalam siklus yang mereka jaga bersama.
Di pondok kecil di antara pohon kakao, aku duduk mendengarkan para petani bercerita. Ada sesuatu yang begitu intim dalam momen ini—sebuah rasa kebersamaan yang muncul hanya ketika seseorang benar-benar hadir, mendengar tanpa tergesa, melihat tanpa menghakimi.
Puncak perjalananku adalah saat aku berkunjung ke Pulau Bawan, menyaksikan orang utan yang sedang dalam masa rehabilitasi sebelum kembali ke hutan. Aku melihat mereka bergerak, memanjat, dan perlahan-lahan belajar kembali bagaimana menjadi bagian dari alam. Ada harapan di sana, tetapi juga kesedihan. Aku memikirkan bagaimana manusia sering kali menjadi penyebab kehancuran, tetapi juga satu-satunya yang bisa memulihkan. Aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku bagian dari kehancuran itu? Ataukah aku bisa menjadi bagian dari pemulihan?
Pada dini hari setelah kembali dari perjalanan ini, aku terbangun dan menatap bulan yang perlahan meninggalkan malam. Kali ini, aku tidak merasa kosong. Aku membawa pulang sesuatu dari Kampung Merasa. Sebuah pemahaman baru tentang apa artinya hidup, tentang bagaimana kita bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari kehancuran, tetapi bagian dari upaya memulihkan.
Merasa mengingatkanku bahwa di tengah dunia yang serba cepat ini, ada ruang bagi keheningan, bagi hubungan yang lebih dalam dengan alam, bagi penghormatan terhadap sejarah. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa hidup sepenuhnya seperti masyarakat Dayak Kenyah, tetapi aku bisa belajar dari mereka. Aku bisa mengingat bahwa keberlanjutan bukan sekadar inovasi, tetapi juga penghormatan terhadap yang telah ada sebelum kita.
Imagine the time I was six. I spent half an hour constructing my perfect fortress out of wooden blocks, carefully placing each piece. Every detail mattered, this wasn’t just playing, this was creating something. I looked at it, proud, knowing it was my work, my effort.
Then, some little shit walks by. I watch as his eyes narrow, and for a moment, he considers the easiest way to destroy what I’d just built. With one careless motion, he topples everything, scattering the blocks like they were nothing.
I don’t cry. I don’t scream for help. Instead, I get up, walk over, and grab him by the shoulder. A hard shove, and then I make sure he knows exactly what he’s done. He’s on the ground before he can even process it, his face swelling where I hit it. I don’t care about the blood or the broken tooth. All I care about is the fact that he destroyed something I created for no reason other than his amusement.
The teacher drags me away, gasping: "Look what you did! It’s just blocks, he’s a person!".
But it wasn’t just blocks. It was my time, my effort, and he threw it all away like it meant nothing. And he’s a person? Fine. So am I. And in that moment, his face wasn’t worth respecting.
Looking back at it as an adult, sure, maybe it was an overreaction. Maybe I was too harsh. But that moment wasn’t about rationality. It was about the principle of it. Yeah, I could’ve handled it differently. But I was a kid. That’s what kids do.. act on impulse.
No one cared about the fact that someone else’s selfish act destroyed what I valued. My retaliation was branded as aggression, while his provocation was dismissed as childish mischief. No one asked why I struck back. No one acknowledged that he’d destroyed something I built simply because he wanted to. I was the one who got punished.
At that time, the teacher’s failure was a clear lesson in injustice, that authority will side with the visible victim over the invisible violation, and proof that fairness is conditional, since his pain was 'real', while mine was 'just toys'.
I sit here, darkness surrounds me, swirling around my ankles. Shades of blue, grey, amid the blackness.
Whispers of my past play into my ears. Flashes of bright colours, wisps of my youth, all that is left to me. I see the faces, I see them looking at me.
A black butterfly floats on currents of emotion, teasing my soul to the surface. What do I say to it? How do I make it feel safe?
The burden of my years, is balanced by the lightness in my mind. They wait for me, for the day I travel over that bridge, to stand before my Maker, for the day I join them.
For that day shall come, that day shall come, and my soul will weep, in Joy.
The saddest thing in the world is actively watching a close friend and yourself slowly grow apart while knowing there is absolutely nothing you can do about it
Книга отражений | A book of reflections
2015
Just because I like my body, doesn't mean I love myself