Absolute Hotel Services Group pledges Green Globe™ certification for all properties by 2025, redefining eco-luxury and sustainable hospitality. Continue reading Luxury Meets Sustainability: AHS Group’s Green Commitment
Traditional Porch - Backyard Inspiration for a mid-sized timeless concrete back porch remodel with a fire pit and a roof extension
Tile - Roofing An illustration of a substantial two-story stone house with a hip roof and a tile roof in tuscan beige
Contemporary Bedroom - Bedroom An enormous, modern loft-style bedroom, for illustration.
Beach Style Kitchen
Hey everyone! If you're wondering who that is well that's me, the quiet guy behind the art work on this account. Thought I would take this opportunity to tell you a little about myself, I'm sure everyone is very excited 😏. Born in Portugal Lisbon and immigrated to Canada back in the 90s . . . Actually on second thought instead of reading 30+ years Bio it might just be easier to check out the interview by @thedrake that I did after my artist in residence with them😉.
Interview Link
This is last piece piece I did for my Artist in Residence at @thedrakehotel . This piece is of Rosedale station, a subway station in Toronto Canada. 5 feet x 3.5ish feet chalk on chalkboard. The two pieces will be put up in the hotel.☺️🎉 Special thanks to Ashley Mulvihill the curator and @thedrakehotel for providing me this wonderful experience and hope to work together again.☺️🙏
Instagram.
Shop.
Portfolio.
I'll be the Artist in Residence @thedrake in Toronto for the next few days. Working from their Artist loft.☺️ I'll be working on a small project doing illustrations on 5 foot chalkboards. (Like the one in the first pic) This will be fun and challenging since I've never worked with chalk as a medium.🎊😋 Stay tuned for updates!! . . . . . #diogopinheiroart #perspectiveart #contemporaryarts #fineartwork #geometricabstraction #canadianarts #fineartist #curator #geometricaart #fineart #architecture #thedrake #thedrakehotel #toronto #residence #residency #artistresidency #chalk (at The Drake Hotel) https://www.instagram.com/p/CWBkgpIPjfp/?utm_medium=tumblr
Lihat map, tahu jalan
Lihat kompas, tahu arah
Lihat jam, tahu waktu
Lihat bulan? tahu arus
Perjalanan residensi ini membawa aku lebih dari sekedar penelitian, ia menjadi refleksi pribadi yang mendalam. Aku memulai dengan tujuan sederhana; memahami hubungan bapak dengan sungai dan laut, yang telah menjadi bagian penting dan urat nadi di hidupnya. Rasa penasaranku terhadap pengalamannya membawaku ke semesta yang lebih besar. Dari sungai, aku akhirnya bisa mengenal Bapak lebih dalam. Aku menemukan pengetahuan lokal yang berakar pada kearifan alam, kisah keluarga yang terukir dalam sejarah migrasi, dan bagaimana keduanya mempengaruhi identitasku sebagai individu yang terhubung dengan masa lalu dan lingkungan tempat aku tumbuh.
Bapak adalah seorang pria sederhana dan cukup religius. Sejak kecil ia menjadi bagian integral dari laut. Bapak adalah seorang anak buah kapal selama lebih dari dua dekade, menjalani kehidupannya di laut dan sungai, menjadikannya saksi bisu dan pelaku aktif dari dinamika alam yang terus berubah. Sungai dan laut bukan sekadar medium transportasi baginya, tetapi juga adalah guru yang sabar, mengajarkan pelajaran yang berharga tentang ritme alam. Dalam narasi ini, aku menelusuri bagaimana bapak dan komunitas lokalnya meniti arus kehidupan dan membagikan pengetahuannya seputar sungai dan laut.
Sungai Sebagai Guru Kehidupan
Dari obrolan bersama bapak, aku juga mengetahui beberapa peristiwa penting dan langka yang pernah terjadi pada masa lampau. Bapak berkisah, pada tahun 1980-an wilayah Berau mengalami kemarau panjang hingga berminggu-minggu lamanya. Hal ini menyebabkan Sungai Kelay mengalami perubahan drastis selama kurang lebih satu minggu. Bapak bercerita, bahwa air sungai yang biasanya tawar menjadi air payau (kondisi dimana air tawar bercampur dengan air asin). Hal ini pula ditandai dengan air yang berkilau, kilauan ini hanya bisa dilihat ketika bulan gelap. Bapak dan komunitas lokalnya yang sangat bergantung dengan sungai, kemudian mencari cara lain untuk mengatasi masalah ketersediaan air. Perubahan air tawar menjadi payau menegaskan betapa besarnya ketergantungan manusia pada sumber daya alam yang stabil. Dan juga ini menunjukkan kemampuan manusia dalam beradaptasi dengan perubahan.
Bapak juga menceritakan tentang hilangnya beberapa makam dan munculnya tengkorak-tengkorak ke permukaan tanah. Hal ini terjadi karena peristiwa erosi tanah yang terjadi di Kampung Sukan sekitar tahun 1990-an. Erosi tanah yang menghilangkan makam menunjukkan bahwa alam memiliki kekuatan untuk mengubah, bahkan menghancurkan warisan manusia. Makam adalah simbol keberadaan nenek moyang, dan kehilangannya bisa diartikan sebagai hilangnya ikatan sejarah dengan masa lalu. Peristiwa ini mengingatkanku bahwa alam tidak hanya menjadi tempat hidup, tetapi juga tempat peristirahatan terakhir yang harus dihormati. Kehilangan makam dan munculnya tengkorak di permukaan tanah memberikan makna spiritual yang mendalam. Hilangnya makam tidak hanya menggugah rasa kehilangan, tetapi juga menjadi momen refleksi untuk lebih menghargai warisan budaya dan leluhur.
Melalui residensi ini, aku tidak hanya belajar tentang cerita lama tetapi juga tentang refleksi mendalam terhadap kehidupan, alam, dan hubungan manusia dengan masa lalu. Kisah bapak tentang perubahan air Sungai Kelay dan erosi di Kampung Sukan menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, memberi pelajaran tentang pentingnya menjaga lingkungan dan menghormati warisan leluhur.
Sebagai generasi penerus, tanggung jawab kita adalah memastikan bahwa cerita-cerita ini terus hidup, menjadi pengingat untuk selalu hidup selaras dengan alam dan menghormati jejak sejarah yang telah ditinggalkan oleh mereka yang datang sebelum kita.
Kisah Buyut: Migrasi dari Donggala ke Kalimantan Timur
Perbincangan bersama bapak juga membawa aku kembali ke akar sejarah keluarga. Aku mulai memahami bagaimana perpindahan, adaptasi dan perjuangan buyut ku hingga membentuk identitas keluarga kami. Migrasi buyutku dari Donggala, Sulawesi Tengah ke pesisir Kalimantan Timur bukan hanya perjalanan fisik tetapi juga perjalanan spiritual yang melibatkan keputusan penting dan keberanian untuk menghadapi ketidakpastian.
Buyutku, Wa’ Sunding, adalah seorang pelaut ulung yang berasal dari Donggala, Sulawesi Tengah. Sekitar tahun 1910/1920-an, Wa’ Sunding bersama anak dan saudaranya berpindah dari Donggala, Sulawesi Tengah ke pesisir pantai Kalimantan Timur. Berbekal pengetahuan lokal seperti membaca arah angin, pembacaan pasang surut air laut dengan pengamatan bulan dan mengenali bintang sebagai panduan navigasi, mereka kemudian mantap berpindah dan membuat pemukiman baru di pesisir pantai Kalimantan Timur yang mereka beri nama Ulingan. Dengan kearifan lokal yang dibawa dari Donggala, mereka berhasil beradaptasi dengan lingkungan baru dan membangun kehidupan yang stabil.
Salah satu pengetahuan lokal yang diwariskan Wa’ Sunding adalah kemampuan membaca pasang surut air laut melalui pengamatan bulan. Pengetahuan ini sangat penting, terutama untuk mereka yang bergantung pada sungai dan laut. Alam punya ritmenya sendiri, dan bulan salah satu petunjuk. Jika kita melihat bulan di langit, kita bisa mengetahui kondisi air. Dengan memahami pola pasang surut air terkait pengamatan bulan, kita bisa memperkirakan kapan air pasang dan surut. Kita juga bisa memperhatikan gerakan air lebih cepat atau lambat yang mengindikasikan perubahan pasang surut air. Ini adalah cara sederhana namun efektif untuk menjaga keselamatan.
Kemudian sekitar tahun 1980-an, bapak dan kakekku berpindah dari Ulingan ke Kota Tanjung Redeb. Dan membuat pemukiman baru di kawasan Sungai Kelay tepatnya di kawasan Jalan Milono.
Pengetahuan lokal yang diwariskan Wa’ Sunding menjadi bukti betapa berharganya tradisi dalam menjaga keberlangsungan kehidupan. Hal ini mendorong aku untuk mendokumentasikan tradisi tersebut dalam bentuk kalender fase bulan serta pasang surut airnya. Kalender ini tidak hanya berguna bagi keluarga ku, tetapi juga dapat membantu masyarakat dalam merencanakan aktivitas di laut dan sungai.
Warisan Buyut: Kalender Bulan Timbul
Pengetahuan tentang pasang surut air melalui pengamatan bulan tidak hanya menjadi alat untuk bertahan hidup tetapi juga simbol kebijaksanaan yang diwariskan lintas generasi. Aku masih ingat dengan jelas ketika pertama kali mengetahui bahwa pasang surut air dapat diprediksi melalui pengamatan bulan.
Hari itu, aku sedang duduk bersama bapak, mendengar cerita tentang aktivitasnya di masa lalu. Bapak mulai berbicara tentang bagaimana kakek buyut kami menggunakan bulan sebagai panduan untuk memahami pasang surut air sungai dan laut.
Awalnya, aku sangat kebingungan sekaligus antusias dan merasa tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam. Kemudian, bapak menjelaskan dengan detail bagaimana fase bulan seperti bulan baru, bulan seperempat, dan bulan purnama dapat mempengaruhi tinggi dan rendahnya air. Aku tertegun, terdiam, namun terpesona. Ilmu ini terdengar begitu sederhana tetapi sekaligus kompleks.
Setelah mendengar cerita itu, aku meminta bapak untuk memberikan lebih banyak detail. Ia dengan sabar menjelaskan pola-pola pasang surut yang ia pelajari dari kakek buyut serta istilah-istilah tradisional untuk mengetahui kondisi air. Aku mulai mencatat semua informasi ini dalam buku catatan kecil milikku.
Dari informasi tersebut, aku menemukan fakta bahwa warisan pengetahuan lokal dan tradisional ini tidak hanya bertahan tetapi juga tervalidasi oleh sains. Artikel-artikel ilmiah menjelaskan bahwa pasang surut air dipengaruhi oleh gaya tarik gravitasi bulan.
Istilah “bulan timbul” digunakan oleh bapak untuk menunjukkan usia bulan. Istilah ini memiliki kemiripan dengan istilah astronomi yang digunakan untuk menjelaskan fase bulan. Menurut bapak, bulan timbul 1 mengacu pada bulan baru, yaitu ketika bulan mulai muncul. Pada fase ini, bulan tidak terlihat karena bagian yang menghadap bumi tidak terkena cahaya matahari. Ini adalah awal dari pola spring tide dan kondisi airnya guris/pasang. Bulan timbul 15 menandai bulan purnama, saat bulan terlihat penuh. Dalam astronomi, bulan purnama terjadi ketika posisi bulan berlawanan dengan matahari, dan sisi bulan yang bercahaya sepenuhnya terlihat dari bumi. Bulan tampak bundar sempurna dan paling terang di langit malam. Ini juga memicu spring tide dengan arus air yang lebih kuat. Dan kondisi air pada bulan timbul 15-17 adalah pasang tertinggi. Bulan timbul 29 atau bulan mati/gelap adalah saat bulan tidak lagi terlihat dan menandai akhir siklus. Dalam astronomi, ini dikenal sebagai fase transisi dari bulan tua menuju bulan baru. Bulan kembali gelap sepenuhnya, dan siklus bulan akan dimulai lagi. Bapak menyebutkan bahwa "bulan timbul 1-15" adalah fase bulan terang, dan "bulan timbul 16-29,5" adalah fase bulan gelap.
Ada 4 kondisi air yang bapak sampaikan. Ada Guris, Surut, Konda dan Gila-gila. Setelah itu, aku merasa perlu memverifikasi pengetahuan ini. Aku pun melanjutkannya dengan browsing, mencari hal-hal terkait dengan bulan dan pasang surut air di internet. Guris adalah kondisi air pasang, yaitu ketika volume air naik atau bertambah. Surut adalah kebalikan dari guris, di mana volume air menjadi berkurang. Konda adalah kondisi air yang pelan dan tenang, biasanya terjadi di antara transisi dari pasang dan surut. Gila-gila adalah kondisi air dengan arus yang sangat kuat dan mudah berubah.
Langkah berikutnya adalah aku menyusun kalender bulan timbul bersama bapak. Kami menggunakan kombinasi pengetahuan tradisional dan informasi ilmiah untuk merumuskan pola pasang surut air. Aku berharap dapat melestarikan warisan ini sekaligus memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat yang bergantung pada sungai dan laut. Pengetahuan tradisional seperti ini perlu dihargai, dilestarikan, dan disebarluaskan sebagai bagian dari identitas budaya kita yang kaya dan berharga. Dan juga sebagai pembacaan lanjutan, apakah gejala bulan dan arus masih sama, atau ada yang berubah.
Namun ada catatan penting, bahwa pola yang terjadi di sungai cenderung mengalami keterlambatan (delay) akibat pengaruh topografi, aliran air, dan jarak dari sumber laut. Kalender ini kami maksudkan sebagai panduan bagi masyarakat lokal untuk menentukan waktu terbaik melakukan aktivitas di sungai dan laut, seperti menangkap ikan atau memanfaatkan aliran sungai dan laut untuk keperluan lain.
Dari susunan kalender yang aku buat bersama bapak, aku kemudian memikirkan visual yang baik agar lebih mudah dipahami.
Teropong Kain: Teknik Sederhana Yang Menakjubkan
Baju atau kain merupakan alat tradisional yang digunakan oleh komunitas lokal bapak untuk melakukan pengamatan bulan. Aku menyebutnya "teropong kain". Melihat bulan melalui serat kain tipis adalah cara unik yang mempertegas detail bulan, seolah-olah cahayanya melembut dan lebih fokus. Serat kain bertindak seperti filter alami, mengurangi intensitas cahaya yang menyilaukan dan membantu mata menangkap bentuk dan fase bulan dengan lebih jelas.
Meskipun terdengar sederhana, "teropong kain" ini mencerminkan kecerdikan komunitas lokal bapak dalam memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memahami alam semesta. Dan juga hal ini menunjukkan bahwa kearifan tradisional sering kali lahir dari kebutuhan praktis yang dipadukan dengan kreativitas.
Dalam perjalanan residensiku ini, aku memutuskan untuk menggunakan metode kerja zoom in dan zoom out. Metode zoom in membawaku untuk menyelami pengetahuan lokal melalui tradisi lisan yang diwariskan bapak. Dengan berbicara langsung dengan beliau, aku belajar bagaimana buyutku membaca bulan timbul dan bagaimana pola pasang surut air dipengaruhi oleh fase bulan. Proses zoom in ini memungkinkan aku untuk terhubung secara emosional dengan cerita bapak, memperhatikan setiap detail yang disampaikan, seperti cara beliau menggunakan kain tipis sebagai alat untuk mengamati bulan.
Metode zoom in menunjukkan betapa kayanya tradisi lisan yang dimiliki oleh keluargaku. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan semacam ini bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga tentang cerita, hubungan, dan penghormatan terhadap alam. Tradisi ini mengajarkan aku untuk lebih menghargai warisan buyutku, melihatnya sebagai bagian integral dari identitas diri.
Metode zoom out adalah upaya untuk menempatkan pengetahuan lokal dalam konteks yang lebih luas. Aku mulai dengan mencari informasi tambahan melalui browsing, membandingkan apa yang bapak ajarkan tentang bulan timbul dengan konsep ilmiah modern.Aku menemukan bahwa pola pasang surut yang dijelaskan oleh bapak sesuai dengan prinsip gravitasi bulan yang dipelajari dalam sains modern.
Sebagai bagian dari zoom out, aku meluangkan waktu untuk menggambar sketsa tempat-tempat yang aku kunjungi selama residensi. Aktivitas ini menjadi cara bagiku untuk menjauh sebentar dari semua informasi yang telah aku kumpulkan, memberikan ruang untuk merenungkan hubungan antara tradisi, lingkungan, dan diriku sendiri.
Proses zoom out mengajarkan aku untuk tidak hanya menerima tradisi sebagaimana adanya, tetapi juga untuk melihat bagaimana ia berinteraksi dengan dunia modern. Ini adalah pengingat bahwa pengetahuan lokal tidak terisolasi, tetapi selalu berada dalam dialog dengan perkembangan global. Selain itu, membuat sketsa menjadi terapi visual yang membantu menenangkan pikiran.
Kombinasi zoom in dan zoom out menciptakan dramaturgi yang jelas dalam perjalanan residensi ini. Zoom in membawa kedalaman fokus, mengungkap detail-detail tradisi yang sebelumnya mungkin terlewatkan. Zoom out, di sisi lain, memberi jarak dan konteks yang memungkinkan aku memahami tradisi ini secara lebih objektif dan menyeluruh. Dramaturgi ini seperti sebuah narasi yang bergelombang, dimulai dari kisah mendalam tentang keluarga dan tradisi, lalu melebar ke semesta yang lebih luas.
Residensi ini telah menjadi ruang eksplorasi yang membebaskan sekaligus mendalam bagi diriku. Dalam prosesnya, aku menghadirkan karya-karya yang merepresentasikan perjalanan riset, pengalaman personal, dan refleksi mendalam tentang hubungan manusia dengan alam, khususnya lewat pengetahuan lokal yang diwariskan oleh buyutku. Melalui sketsa hitam putih dan instalasi kalender bulan serta fase pasang surut air, aku menemukan perspektif baru tentang praktik seniku, sekaligus membangun kembali kepercayaan diri dalam berkarya.
Sebelum residensi ini, sketsa adalah sesuatu yang selalu aku anggap kurang menarik dan bahkan menjadi kelemahanku. Aku cenderung berfokus pada proses pewarnaan dalam karya visualku, merasa bahwa itulah inti kekuatan ekspresiku. Namun, residensi ini menjadi momen untuk keluar dari zona nyaman dan mengeksplorasi potensi sketsa sebagai medium utama.
Dalam residensi ini, aku memilih bahan pensil charcoal dan tinta cina. Teknik ini memungkinkan aku untuk mengungkapkan perasaan dan cerita secara langsung, tanpa perlu khawatir tentang keindahan formal atau estetika yang "sempurna." Aku menggambar pemandangan tempat-tempat yang aku kunjungi selama residensi, seperti tepian sungai, batang dan pelabuhan. Garis-garis kasar dari charcoal dan sapuan tinta menciptakan kesan mendalam tentang dinamika alam. Proses ini bukan hanya merekam apa yang aku lihat, tetapi juga menghadirkan suasana dan hubungan emosional dengan lingkungan yang menjadi latar ceritaku.
Salah satu pelajaran terbesar dari eksperimen ini adalah belajar untuk menerima kekurangan dalam karya. Sketsa hitam putih ini menjadi ruang di mana aku bisa bebas dari tekanan untuk menciptakan sesuatu yang sempurna. Sebaliknya, aku lebih fokus pada kejujuran ekspresi, membiarkan cerita tradisi dan pengalaman visualku berbicara lewat garis-garis yang kadang tidak teratur namun penuh makna. Aku menyadari bahwa sketsa adalah fondasi dari setiap ide visual, sebuah langkah awal yang jujur dan spontan.
Selain sketsa, karya instalasi juga menjadi bagian penting dalam residensi ini. Instalasi ini merepresentasikan kalender bulan timbul dan pola pasang surut air, yang aku rumuskan bersama bapak.
Aku menggunakan material sederhana seperti triplek, pipa, kayu, lampu dan kain untuk membuat kalender ini. Di sisi kiri instalasi, ada sebuah lingkaran besar yang memvisualisasikan siklus bulan dengan pola pasang surut yang terjadi di sungai. Karya ini dirancang dengan estetika yang menggabungkan budaya lokal dan tradisi religius keluarga. Tulisan di kalender ini menggunakan penulisan arab, namun mengandung bahasa Indonesia. Penulisan ini biasa dipakai dalam pembelajaran kitab kuning di pesantren. Pemilihan pegon bukan hanya simbol keindahan visual, tetapi juga penghormatan terhadap akar religius keluarga. Instalasi ini tidak hanya berfungsi sebagai karya seni, tetapi juga sebagai medium edukasi. Pengetahuan tentang pasang surut air yang diwariskan dari buyut ke bapak, dan sekarang ke aku, dihadirkan dalam bentuk visual yang dapat diakses oleh siapa saja. Karya instalasi ini adalah manifestasi dari kombinasi riset, tradisi, dan eksperimen visualku selama residensi.
Meski terlihat berbeda, sketsa dan instalasi dalam residensi ini sebenarnya saling melengkapi. Sketsa menjadi cara untuk merekam dan merenungkan, sementara instalasi adalah medium untuk berbagi pengetahuan lokal bapak.