tiba-tiba mikirin nasib minggu depan
Kamu hidup diantara janji-janji yang kamu bisikkan seperti doa. Rasanya seperti meneguk segelas kopi sachet yang kebanyakan air—hangatnya cukup menghibur, namun rasa pahit menetap di mulutmu sampai malam. Setiap pagi kamu mengulangi mantra yang sama; minggu depan kamu akan makan tiga kali sehari. Minggu depan kamu akan memperbaiki kipas tua yang sudah sekarat, namun tetap menghembuskan angin sejuk di kala panas malam ibukota menyerang. Minggu depan kamu akan membeli sepatu yang layak, supaya kamu tidak lagi menggunakan sepatu yang solnya menganga seperti mulut orang-orang yang suka bicara soal harapan.
Minggu depan kamu akan mengirim uang untuk Ibu, sedikit lebih banyak dari biasanya. Cukup banyak sehingga Ibu tidak perlu mengurangi porsi nasi lagi. Cukup banyak untuk membelikan Adik buku baru. Kamu ingin membuktikan kalau kamu kuat; kalau Jakarta tidak membakarmu menjadi abu.
Minggu depan, proyekmu akan selesai. Kamu akhirnya memiliki ruang untuk bernapas, untuk merenggangkan tubuhmu. Bonus akan turun, katanya. Namun meja kerjamu terus membisikan tentang hantu-hantu PHK. Tawa-tawa di kantin karyawan menghilang, digantikan dengan lirikan gelisah dan bisik-bisik. Untuk pertama kalinya, kamu merasakan ilusi aman yang kamu bangun perlahan-lahan mulai runtuh. Lantai yang selama ini menompang meja kerjamu pun mulai retak, seakan-akan siap menjatuhkanmu ke dalam jurang.
Kamu menambahkan catatan di ponselmu; minggu depan kamu harus mulai mencari perkerjaan baru—untuk berjaga-jaga.
Kamu pun tersadar kalau kamu tidak sendirian. Ketika kamu bertanya kepada Ibu warteg kapan beliau akan masak cumi lagi, beliau tersenyum lelah dan menjawab, “Minggu depan ya, Nak, kalau harganya turun.”
Ketika kamu duduk di depan minimarket bersama temanmu, meneguk minuman kopi diskon yang rasanya lebih seperti pengingat bahwa kamu tak mampu beli yang lain. “Minggu depan anak gue ulang tahun,” bisik temanmu. Matanya redup. “Semoga gaji nggak ditahan lagi. Gue mau beliin dia kado.”
Bahkan, tetanggamu yang kamu kira selalu berkecukupan, kini suara seraknya terdengar lewat tembok tipis kontrakan. “Saya usahakan bayar minggu depan ya, Pak.”
Tapi minggu depan datang seperti ombak yang menenggelamkan harapanmu. Tanpa kabar baik. Tanpa perubahan. Tanpa mukjizat.
Lelahmu tidak dibayarkan, tidak dihargai, hanya dijustifikasi atas nama efisiensi. Harga telur naik lagi. Suara token listrik yang menjerit bersahutan dengan rengekan kipas tua, keduanya mengingatkan bahwa uangmu hampir habis. Tagihan menumpuk seperti doa-doamu yang belum terjamah. Tidak ada balasan dari semua lamaran yang kamu kirimkan.
“Nggak apa-apa,” ucap Ibu ketika kamu menelepon setelah mengirimkan uang. “Untung makan siang Adik disediakan sekolah, jadi Ibu bisa hemat beras.”
Ibu ingin menguatkanmu, namun kata-kata yang kamu dengar terasa seperti pisau yang menusuk jantungmu.
“Nggak usah pikirin Ibu sama Bapak, simpan uangnya buat kamu di sana.” Suara Ibu pecah, namun bukan karena susah sinyal.
Kamu batal membeli sepatu baru, meskipun sedang turun harga menjadi Rp150.000—diskon yang terasa seperti ejekan. Sebab uang seratus ribu rupiah kini bisa lenyap dalam sekali napas—sekotak nasi, bensin, dan satu liter minyak goreng yang harganya terus menanjak. Kamu pernah menyebutnya sebagai dana darurat, namun sekarang ia hanya lembar tipis yang cepat lusuh, cepat habis, cepat hilang. Sepasang sepatu baru tidak ada artinya jika kamu tidak dapat membeli minyak goreng dan bensin.
Kamu tidak perlu membaca berita maupun membaca grafik untuk tahu bahwa rupiah ambruk, karena kamu ikut rubuh bersamanya. Kamu merasakannya di setiap kali kamu menawar cabai dan bawang bagaikan menawar mimpi, di setiap kali kamu memutuskan untuk tertidur dengan perut kosong. Kamu menyadarinya ketika porsi nasi di warteg jauh lebih banyak daripada lauk.
Kamu mendengar pejabat di televisi menjanjikan bahwa perekonomian negara baik-baik saja, bahwa semuanya terkendali dengan baik. Kamu tertawa hambar, tapi semua orang berhak bermimpi bukan? Bahkan pejabat pun boleh berhalusinasi, bukan?
Biarkan mereka bermimpi. Biarkan mereka tidur di hotel bintang lima dengan anggaran negara. Biarkan mereka berpesta, berbicara tentang pemulihan ekonomi di balik pintu kedap suara.
Sementara kamu harus menerima kenyataan bahwa kamu bisa hancur dan negara tidak peduli. Bahwa kamu bisa mati kelaparan tanpa menguncang statistik mereka. Bahwa kamu hanyalah angka, bukan manusia.
Seperti rupiahmu yang tidak bernilai, kamu pun ikut terkikis bersamanya. Namun tidak seperti para pejabat berdasi, kamu merasa malu atas janji-janji yang tak bisa kamu tepati—pada dirimu sendiri, pada Ibu, pada harapan yang sudah terlalu lama kamu cicil dengan air mata.
Dan kamar kontrakanmu menjadi saksi bisu atas semua minggu depan yang kamu tunda. Malam ini kamu berhenti berharap, berhenti membuat janji. Tidak ada lagi minggu depan, tidak ada lagi kamu yang memanjatkan doa. Sebab di negara ini, harapan adalah barang mewah yang tidak bisa kamu cicil lagi harganya.