aku hampir tidak pernah membelanjakan uangku untuk sesuatu yang kurasa tidak perlu. Aku sangat sulit mengeluarkan uang untuk sesuatu yang sifatnya tidak primer atau bukan prioritas utama. saat berbelanja di supermarket atau toserba, aku akan memilih barang yang sekiranya aku butuhkan. Tidak jarang barang-barang lucu ataupun jajanan yang menggemaskan menarik perhatianku, aku terdiam lama berfikir untuk mengambil atau tidak. Beberapa tak jadi kuambil beberapa berhasil mengalahkan logikaku dan masuk ke keranjang belanja. Sebelum menuju kasir aku mempunyai kebiasaan melihat barang-barang belanjaan yang ada dikeranjang terlebih dahulu. Aku akan meninjau ulang barang-barang yang aku ambil dan memastikan semuanya barang yang akan kubawa pulang adalah sesuatu yang benar-benar aku perlukan dan tentunya tidak membuatku menyesal diakhir. Yass dan barang yang tadinya hanya sekedar keinginan akan aku kembalikan di raknya yang semula karena sudah melalui proses pertimbangan hehe. langkah menyortir ulang sebelum ke kasir ini cukup efektif karena melindungiku dari kegiatan berbelanja yang sifatnya impulsif. Karena aku tahu barang yang kubeli hanya sesuai dengan keinginan bukan sesuai kebutuhan hanya akan membuatku menyesal kemudian
Sesuatu menjadi terasa berharga jika sudah hilang :(
Halo sobat tumblr.
Btw aku mau curhat ;(
Aku kecewa sama diriku sendiri karna udah ngambil keputusan yang salah :(
Dan sekarang aku harus terima realita dari keputusan yang sudah kuambil.
Pgn lagi balik ke kebelakang. Tapi kayaknya udah gak bisa. Sedih sesedihnya !
But, aku harus mendukung diriku sendiri. Ini pelajaran untukku untuk tidak mengeluh, dan selalu melihat sesuatu dgn positive.
If not now, never mind.
Ada banyak rencana yang perlu dipertimbangkan dengan matang dikarenakan pandemi covid ini :). Sedih banget saat cita-cita sudah di depan mata namun jarak dan pandemi membatasi.
Baik. Aku tidak akan ekpektasi semua hal berjalan lancar dan tanpa hambatan, aku harus bersiap dengan kondisi apapun.
Tapi aku tak ingin berlepas dari doa, semoga kekuatan dan kemudahan Allah perkenankan.
Aamiin.
sit in the sun without anything to do, feel the heat of the rays hit your skin, realize that this sunlight has travelled a very long way to reach you
walk around barefoot and try to feel as much of the ground under your feet as you can, notice every rock and blade of grass
sit quietly for a while and notice the touch of breath in your nostrils, feel how the air gets cooler as you inhale and warmer as you exhale
drive around aimlessly and blast some of your favorite songs, scream/sing along to them and feel the vibrations of your favorite lyrics as they change the air in your throat and around you, feel that the music is healing you from the inside out
stay away from alcohol or drugs for a few days, try to be as aware and present as you can in every moment, stop trying to numb or dull your senses
eat a few meals without any distractions, notice every bite and taste every flavor that covers your tongue, be grateful for it all
look up at the stars and the moon, understand how small we all are and how immense the universe is, realize what a miracle everything is, let your heart swell with amazement and admiration for life itself
Cerdas mengelola emosi.
Sering bgt, kalau lagi gak mood dan ditanya-ditanyain sesuatu pasti bawaannya pengen marah dan emosi. Apalagi pertanyaannya menyentil sesuatu yang membuat mood down kebawah.
" kenapa marah ? Kan nanyanya baik-baik ! Udah ah males !"
Aku marah, karena pertanyaannya. Bukan caramu membawakan pertanyaan.
Well. Aku akui aku salah. Sekarang aku tidak mau menyalahkan ataupun membela perilakuku. Inhale exhale. Aku terima kamu apa adanya hari ini diriku. Janji ya besok gak gitu lagi. Kalau gak mood ditanya mending jawab gak tahu aja dengan santai, gak usah pake urat :). Jawab aja dengan jawaban simpel sampai orang itu gak perlu bertanya lagi. Energimu sayang kalau dipake buat marah diriku sayang :))
Sejak lulus SMA atau bahkan during SMA, sampai sekarang setelah difikir-fikir secara mendalam ternyata sama sekali belum ada interaksi akrab dengan laki laki selain saudara kandung. Saat SMP suka bgt dijodoh jodohin sama temen atau adik kelas yang akhirnya bikin baper dan cinta cintaan monyet wkwkw tapi gak sampai akrab dengan temen laki apalagi pacaran sih. Alhamdulillah gak pernah rasain pacaran sampai sekarang :), nanti aja yaa abis nikah. Aamiiin. Lingkungan pertemanan yang minim interaksi dengan lawan jenis tuh ngaruh bgt ampe kalau lewat atau ngumpul di tempat yang banyak laki-lakinya jadi gak nyaman.
Dan aku merasaaa sangat tenang, tanpa harus memikirkan orang lain hahaha. Lihat temen tuh kayaknya galau amat mikirin lelaki yang belum jelas nemenin dia di meja Ijab Qabul....berkali-kali dibaperin trus ujung-ujungnya ditinggalin tuh kayaknya miris bgt say :))). Malu sendiri gak sih kalau mikirin masa lalu yang pernah saling perhatian ke orang lain dan sekarang udah gak saling sapa hehe ( don't judge )
Beberapa ada yang pernah deketin ( by chat saja ), bahkan ngajakin taaruf wkwkwk. Tapi gak ada yg digubris karena emang lagi gak mau deket sama siapapun ( laki-laki ). Alasannya takut baper yang sia-sia dan jatuhnya khalwat berujung maksiat, naudzu billah.
Masalah jodoh emang belum aku permasalahkan, masih enjoy bgt dengan kondisi sekarang yg masih sendiri dan temen temen seangkatan udah mulai sebar undangan hoho. ( gatau minggu depan haha )
Yuk menjaga diri aja, memantaskan diri dihadapanNya... yang lebih penting untuk kita khawatirkan dan kita fikirkan 🥺 Allohummaghfirliii
Badan rebahan, tapi pikiran selalu beraktivitas 😁😁
Overthinker mah gitu wkwwkwk.
Lagi banyak tugas yg harus diselesaikan dari biasanya, okeeey berjuang yuk berjuang.
Setelah dipikir-pikir, Uncomfort zone yang buatku "terpaksa" untuk mengembangkan diri.
Selamat menikmati hari ❤❤❤
Don't teach ur children to be shallow people. Teach them to be humble who know values. Don't praise them for things that they never earned. Don't praise them for their beauty, fair skin, thick hair, smart brain... For it's the gifts from Allah. Not from themselves. Rather praise them for being polite, for respecting others, for being diligent, kind hearted, generous, and hard working in khayr... Praise them for things that won't make them arrogant... But praise them for something that will make them improve in the sight of Allah...
(Even thought a beautiful heart which is the root of other good qualities is too a gift from Allah, all the praise is due to Allah for everything)
Tersenyumlah, ada hikmah di dalamnya. Jangan sampai kau berputus asa..
…akan aku sematkan pada awal tulisan kali ini.
Jangan, kumohon jangan. Jangan menggerutu pada takdir dan ketetapan yang ditentukan oleh Ar-Rahman. Jangan menyimpan banyak pertanyaan, jangan membiarkan singkatnya kalimat tanya ‘kenapa?’ membuat imanmu goyah dan runtuh sebab merasa Allah memberikan ujian yang terlalu berat. Terlalu besar, dan terlalu rumit untuk akhirnya ditawakkal-kan.
Seberapapun kita akan dibuat berkali-kali jatuh, akan selalu ada kekuatan untuk bangkit jika Allah menjadi tempat yang dituju. Sebagaimanapun kita akan dibuat berurai-urai air mata, akan selalu ada setitik cahaya, untuk akhirnya menyapu dan menyirnakan badai kesedihan di dalam jiwa. Jika masih Allah, yang menjadi tempat kita memuarakan segala rasa.
Saudaraku, apapun yang sedang menimpamu hari ini.. kuyakin, kau kuat. Lebih kuat dari sekuat yang kau kira. Meski aku tak mengetahui, bagaimana kau sedang dibuat berdarah-darah, aku yakin, in syaa Allah, selagi iman itu masih terpancar dari balik dadamu, kau mampu. Dan kau akan berhasil melewatinya. Ingatlah, tentang apa yang Allah katakan,
“Kamu benar-benar akan diuji pada hartamu dan dirimu” (QS. Ali ‘Imran 186)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna illaaihi ra’jiun” (QS. Al baqarah 155-156)
Demikianlah..
“Seorang Mukmin pasti akan diuji pada harta, jiwa, anak dan keluarganya.”
Saudaraku, pernahkah kita mendengar kisah Urwah bin Az-Zubair dengan ujian yang Allah berikan kepadanya? Dan sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapat keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya”
Tersebutlah, pada suatu hari seorang Khalifah dari bani Umayyah, Al-Walid bin Abdul Malik, mengundang Urwah bin Az-Zubair untuk mengunjungi istananya di Damaskus. Adalah sebagai wujud sapaan cinta, untaian hormat dari sang Khalifah. Urwah memenuhi undangan tersebut dengan menggandeng anak sulungnya.
Disaat Urwah berbincang-bincang pada majelis sang Khalifah, anak sulungnya diantarkan oleh pengawal untuk mengunjungi tempat dibagian istana mana pun yang dia suka. Hati anak sulungnya terpikat untuk melihat kuda-kuda khalifah. Dan,
‘Bughh!’
Seorang pengawal lari tergopoh-gopoh menghadap Khalifah juga Urwah,
“Wahai Khalifah, sesungguhnya telah terjadi begini dan begini,” Pengawal tersebut menceritakan detailnya, “dan sekarang, sang anak telah berpulang menghadap Allah Subhaanahu wa Ta’ala.”
Siapa yang mampu menduga? Ternyata dalam suka ria nya sang anak, salah seekor kuda menendangnya hingga terpelanting jatuh ketanah dan terinjak-injak oleh kuda yang sedang berlari di atasnya, dan saat itu juga, ia meninggal dunia. Dialah sang anak sulung Urwah bin Az-Zubair. Seorang anak kesayangan yang Urwah harapkan mampu menjadi penerus ilmunya. Maka mampukah kita membayangkan bagaimana reaksinya kala itu?
‘Urwah tersenyum dan ia berkata “Innalillahi wa inna illaaihi ra’jiun”
Maka saat itu juga Urwah sendiri yang turun keliang lahat untuk menguburkan anaknya. Setelah usai pemakaman, dalam dzikir dan ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang ia jadikan permohonan agar Allah berikan kesabaran, tiba-tiba betisnya terasa begitu sakit yang luar biasa. Kakinya terserang penyakit langka yang memaksanya untuk harus diamputasi.
Berkatalah salah seorang ahli pengobatan kepercayaan Khalifah, “Ini harus diamputasi. Dan Wahai Imam, kami akan memberikanmu seteguk minuman yang memabukkan, agar sakit yang ditimbulkan takkan terasa olehmu.”
“Tidak” Jawab ‘Urwah, “Sungguh, aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram demi mendapatkan kesehatanku kembali. Dan aku tidak ingin salah satu bagian dari tubuhku hilang tanpa aku merasakan sakitnya. Ku serahkan semuanya kepada Allah.”
Maka setelah berapa tabib itu berunding, mereka memutuskan agar Khalifah memberikan beberapa orang untuk memegangi ‘Urwah ketika melakukan proses pemotongan kakinya yang manual.
Maa syaa Allah! Pemotongan kaki yang manual. Sekali lagi, manual.
Dengan cepat ‘Urwah berkata, “Aku tidak membutuhkannya, biarlah aku memalingkannya dengan dzikir dan tasbih ketika kalian memotongnya.”
Tak terbayang, bagaimana pedih dan perihnya daging yang dikupas tanpa bius sedikitpun. Tulang yang digergaji, dan darah yang terus mengucur darinya. Tak heran, beberapa kali ‘Urwah meringis kesakitan, “Hassi… Hassi..” katanya. Ia bermakna, suatu rasa sakit yang luar biasa terasa
Sesudah proses amputasi selesai, darah tak kunjung berhenti. Maka cara satu-satunya adalah dengan mencelupkannya pada minyak panas. ‘Urwah menyetujui. Saat kakinya dicelupkan kedalam minyak panas yang mendidih, ia menjerit, lalu pingsan, dan dikatakan bahwa ‘Urwah pingsan dalam waktu yang lama. Satu hari.
Hati ini rasanya mengerdil, sungguh.
Bagaimana, bagaimana jika kiranya ujian yang ‘Urwah hadapi menimpa seseorang diantara kita? Baru saja sesaat dia kehilangan anaknya, dia harus pula kehilangan kakinya dengan proses yang luarbiasa menyakitkannya. Disini, bukankah kita melihat, bagaimana kokoh jiwa haba yang beriman kepada-Nya? dan benarlah, bahwa Allah menguji hamba-hambaNya sesuai dengan kadar keimanannya. Cukuplah, ini sebagai bukti, betapa pancaran iman itu telah memenuhi seluruh penjuru ruang hati ‘Urwah bin Az-Zubair.
Sang Khalifah merasa kasihan dan ingin menghibur ‘Urwah. Namun ia bingung, ia tidak memiliki cara untuk menghiburnya. Namun cara Allah lebih menakjubkan, datanglah seorang lelaki buta kepada Khalifah, dan dia bercerita
“Wahai Amirul Mukminin!”, seru laki-laki buta tersebut, “dulu tidak ada seorang pun dari bani Abas yang lebih kaya dariku, lebih banyak anak-anak selain diriku. Aku tinggal disuatu lembah, dan banjir besar menerjang kaumku. Tak ada lagi hartaku, tak tersisa lagi anak-anakku kecuali hanya seorang bayi dan seekor unta.”
“Namun unta tersebut hendak melarikan diri, aku mengejarnya dan meninggalkan anakku. Maka kudengar teriakan bayi, ternyata anakku sudah berada di mulut serigala. Aku kembali hendak mengejarnya, namun sia-sia, serigala tersebut telah memakannya. Aku berbalik lagi, kukejar unta yang kabur, dan saat sudah dekat dengannya, salah satu kakinya menyepak wajahku. Hingga hancurlah keningku dan buta mataku.”
Sang Khalifah mendapatkan apa yang dia cari, Maha Baik Allah mengirim laki-laki untuk ‘Urwah. Sebab, ujiannya jauh lebih berat dari ‘Urwah. Diutuslah laki-laki tersebut kepada ‘Urwah untuk menceritakannya. Seusai ia bercerita, ‘Urwah berkata,
“Innalillahi wa inna illaaihi ra’jiun…”
Dalam do’anya, ‘Urwah berkata,
~
Inilah, ‘Urwah bin Az-Zubair. Inilah, kisah-kisah seorang hamba yang Allah berikan ujian hebat luarbiasa. Belum lagi, jika kita melihat ujian para Nabi.
Maka…. segala puji, hanya bagi Allah..
Inilah salah satu dari sekian rintik hujan yang Allah berikan, yang menyimpan berkah, menyimpan maksud dan tujuan.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allah membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.”
Dan cukuplah, segala ujian yang Allah berikan kepada kita menjadi sebaik-baiknya cara Allah membersihkan dosa-dosa kita. Sebab sungguh, apalah arti sakit di dunia jika dibandingkan dengan sakit di akhirat.. apalah arti tangis di dunia, jika dibandingkan dengan tangis karena siksa dan penyesalan di akhirat..
Mari, bukan lagi memfokuskan kepada apa yang telah hilang dan pergi. Melainkan, kepada apa yang masih Allah sisakan dari segala yang sudah tidak dimiliki. Betapa, betaaapa Allah Maha Baik. Dari sekian sakit yang mungkin bisa dihitung dengan hitungan jari, mampukah kita menghitung nikmat sehat yang sudah Allah beri? Mampukah kita mengkalkulasi, berapa banyak biaya oksigen yang Allah beri dari kita terlahir di muka bumi ini? Yakinkah.. kita merasa aman, jika tiba-tiba jantung ini bermasalah?
Maka bacalah, apa yang sudah tertulis dikalimat awal yang dikutip pada tulisan kali ini.. :’)
–Ibn Sabil
“Tidak menjadi apapun juga tidak masalah. Tidak dikenal orang juga tidak masalah. Tidak diakui keberadaannya juga tidak masalah. Tidak dihormati juga tidak masalah. Justru bisa bersembunyi dari perhatian banyak orang malah lebih leluasa dan santai”
— Gus Baha
restart, and heal
Buah dari rasa cinta itu rasanya menyenangkan
Karena alasan cinta, beberapa orang tidak memandang rintangan didepan, Melupakan jarak, berkorban lebih banyak, dan melupakan rasa sakitnya.
Aku terbiasa berpura-pura untu merasa baik-baik saja,terbiasa mencoba melawan rasa sakit itu sendiri. Melelahkan... aku mengira orang-orang yang aku cintai tak harus ikut merasa khawatir dan mencurahkan waktunya untukku. Tak harus ikut berperang denganku.
Tapi mereka... berkata " kami tidak apa-apa, ayo sama-sama berjuang "
Di peperangan ini, aku lelah dan aku sudah pasrah. Tapi melihat orang orang dicinta mengenggam erat, rasanya menyenangkan. Membuatku berusaha maju.
https://yasirmukhtar.tumblr.com/post/174510897403/sebungkus-garam-sebotol-air-dan-sebuah-danau
Ketika hati saya gusar, terganggu akibat suatu peristiwa di luar diri saya, kadang saya teringat dengan kisah sebungkus garam, sebotol air, dan sebuah danau—dengan berbagai versinya. Mungkin kamu juga pernah mendengarnya.
Berikut kisahnya—versi saya.
Seorang santri sedang berjalan bersama ustadznya ke sebuah tempat.
Mendapatkan kesempatan untuk mengobrol, Santri mengadu kepada ustadznya bahwa ia kesal setiap kali membuka media sosial. Pasalnya, ia sering menemukan orang-orang mem-bully kyai dan tokoh-tokoh panutannya yang ia anggap soleh.
Ia juga heran, bagaimana bisa kyai dan para tokoh panutan itu tetap tenang menjalani hidup di tengah segala caci maki, seolah tidak terjadi apa-apa.
Sang Ustadz tersenyum, mengajak Santri melewati sebuah danau yang tak jauh dari tempat tujuan mereka. “Tolong belikan sebotol air mineral di warung itu”, kata Ustadz. “Oh ya, sekalian, satu bungkus garam ya”.
Santri keheranan. Tapi, menduga bahwa ia akan mendapatkan sebuah jawaban, ia penuhi permintaan ustadznya tanpa bertanya.
Tibalah mereka di pinggir danau.
“Ini, Ustadz”, Santri menyerahkan air mineral dan garam yang diminta Ustadz.
Ustadz pun mengambil segenggam garam, dimasukkannya ke dalam botol berisi air mineral, lalu diaduknya sebentar. “Coba, rasakan air dalam botol ini”, kata Ustadz.
Dengan wajah agak meringis, Santri mencicipi air dalam botol itu. “Asin, Ustadz”, katanya dengan ekspresi wajah yang aneh.
Lalu, Ustadz melempar sisa garam yang ada ke danau.
“Sekarang, kamu rasakan air danau ini”, pinta Ustadz.
Santri pun memasukkan air danau ke mulutnya, layaknya berkumur untuk berwudhu. “Mm.. Tawar, Ustadz”, katanya.
Ustadz dan santri kembali berjalan. “Nah.. Botol dan danau ini seperti hati manusia. Ada hati yang begitu sempit, ada pula hati yang luas. Bagi hati yang sempit, sejumlah ujian bisa mengacaukan pemiliknya, layaknya garam yang membuat asin seisi air dalam botol. Tetapi bagi hati yang luas, ujian yang sama mungkin tidak akan cukup untuk mengganggu sang pemiliknya, sebagaimana sebungkus garam yang hilang tanpa meninggalkan rasa di danau tadi.”
Santri pun berefleksi. Pikirnya, mungkin hatinya masih sekelas botol air mineral, sementara hati kyai dan tokoh-tokoh panutannya sekelas danau luas. Ah, saatnya belajar melapangkan hati.
Bisa relate?
Nah, pertanyaannya, gimana cara kita melapangkan hati?
Kapan-kapan kita eksplorasi.
Salah satu pedang bermata dua yang dimiliki seorang perfeksionis adalah mentalitas “lakukan dengan sempurna, atau tidak sama sekali.”
Di satu sisi, ini membuat para perfeksionis bekerja dengan luar biasa jika mereka memang harus mengerjakan sesuatu. Di sisi lain, ini membuat mereka lumpuh manakala menghadapi sebuah urusan yang nampak besar dan kompleks.
Terbayang-bayang betapa besarnya energi yang mesti mereka miliki untuk membuat urusan besar nan kompleks itu “sempurna”; terbayang betapa tidak sempurnanya kapasitas dan sumber daya mereka saat itu. Stress jadinya.
Beruntung, semasa kuliah, sebuah buku berjudul “The One Thing”, tulisan Garry Keller, mengubah hidup saya yang merupakan seorang perfeksionis ini.
Inspirasi utama yang saya dapatkan dari buku itu adalah: dalam hidup, kita tidak perlu mengambil semua hal, melakukan semua hal, atau menjadi lebih baik dalam semua hal. Seringkali, kita hanya perlu peduli pada satu hal saja, dan itu cukup untuk membuat kita menjadi lebih baik.
Dahulu kala, jika saya membaca buku, biasanya saya ingin merengkuh semua poin yang disampaikan oleh penulis. Terlalu banyak informasi (fakta atau opini) yang nampaknya akan berguna (meski entah kapan dan bagaimana saya akan menggunakan informasi tersebut), yang terlalu sayang jika tidak mampu saya ingat baik-baik.
Agar bisa mengingat informasi-informasi tersebut, sebagian orang menandai bagian-bagian tertentu dengan stabilo. Sebagian lagi menulisnya dalam sebuah catatan, dan lain sebagainya.
Lalu, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, dengan upaya tersebut, memangnya seberapa banyak informasi yang akhirnya berhasil kita ingat? Seberapa sering (atau bahkan, pernah kah?) kita kembali ke tanda stabilo atau catatan kita?
Bagi saya sendiri, jawaban dari kedua pertanyaan tersebut tidaklah membahagiakan.
Alih-alih berusaha merengkuh semua informasi, saya menemukan bahwa jika saya hanya menangkap satu saja informasi yang paling mengesankan bagi saya, lebih besar kemungkinan saya mengingat informasi tersebut dalam jangka waktu lama.
Bahkan, informasi itu tidak sekadar menjadi ingatan “mati”–layaknya kertas yang menyimpan informasi, namun informasi itu tidak berguna bagi dirinya.
Dengan bertanya, “Apa satu hal paling penting dari buku ini?”, saya berhasil menangkap satu informasi yang lalu membekas dan ter-“install” dalam diri saya. Ia menjadi bagian dari diri saya.
Pertanyaan mengenai “Apa satu hal…” ini adalah pertanyaan yang perlu dibiasakan. Jika kita sudah terbiasa, maka kita bisa mengimplementasikannya dari level makro hingga ke level mikro.
Sebagai contoh, jika awalnya kapasitas kita hanya mampu menangkap dan mengingat “satu hal” dari sebuah buku, di tingkatan selanjutnya kita bisa bertanya “Apa satu hal paling penting dari bab pertama?”, lalu “Apa satu hal paling penting dari bab ke dua?”, dan seterusnya.
Efeknya, kita jadi lebih terbiasa “menerawang” benang merah di balik segala sesuatu, di berbagai level.
Kita jadi lebih terbiasa menangkap substansi, tidak terdistraksi oleh hal-hal yang non-substantif.
Ini tidak hanya berlaku pada buku. Ini adalah kebiasaan yang universal, yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks.
Ini semua membawa saya pada gagasan bahwa untuk menjadi seseorang yang sangat keren, kita tidak perlu berusaha menelan semua atribut sebuah hidup yang keren.
Misalnya, kita menuntut diri kita untuk memiliki karir yang bagus, karya yang booming, bisnis yang ekspansif, investasi yang bertumbuh, pikiran yang tahu segala hal, dan lainnya di waktu yang sama.
Mengapa? Karena kita akan kewalahan. Jika kita kewalahan, upaya kita akan berumur pendek, tidak berkelanjutan, tidak konsisten. Lalu pada akhirnya kita akan menemukan diri kita belum beranjak jauh dari titik awal.
Alih-alih begitu, beritahukan kepada diri sendiri bahwa kita cukup menjadi 1% lebih baik hari ini dibanding hari kemarin. Itu saja. Lakukan setiap hari.
Jika kemarin menjelang tidur kita habiskan dengan berseluncur di Instagram, hari ini menjelang tidur kita habiskan dengan menonton TED Talks, mungkin?
Jika hari ini saya tidak mendapat asupan pengetahuan baru, maka besok saya akan menghabiskan 15 menit membaca Blinkist, dan seterusnya.
Cukup satu persen saja perubahan kecil yang kita lakukan untuk diri kita di satu hari, lalu kita kunci perubahan tersebut di hari-hari setelahnya. Bayangkan, berapa persen perubahan yang akan terjadi pada diri kamu setelah satu tahun?
Selamat bertumbuh 1% lebih baik setiap hari!
Dunia ga peduli apakah kamu seorang manager yang susah untuk constantly reading articles atau sering ikut meetup karena ngasuh anak di rumah. Atau apakah kamu seorang mahasiswa yang gabisa ke perpustakaan just for the sake of seeking knowledge karena menanggung kehidupan sekian orang adik. Atau apakah kamu seorang wanita karir yang cari nafkah sekaligus urusin rumah sementara suaminya gabut.
Yang dunia pedulikan itu hasil, output, sesuatu yang keliatan. Sorry this is harsh, but empathy-thingy itu kemewahan. You can’t expect the world to listen to your story and menye-menye.
You know what to do in this condition?
Firstly, communicate, talk, pray, to God, “Dear God, this is hard for me. Aku ingin mengeluh, tapi aku tau Engkau sedang melihat bagaimana aku melalui ini. Maka catatlah kesabaranku ini sebagai pahala yang banyak. Jadikan ini keistimewaanku dibanding makhluk-Mu yang lain.”
Secondly, stop caring about what people would think about you. Just do your best to tackle this and that, finish this and that, but shut your inner voices yang bilang, “Wah nanti aku dinilai ga perform”, “Wah nanti aku keliatan bodoh”, etc. Be a bodoamat person selama kamu udah lakuin yang terbaik yang kamu bisa. Biarkan hatimu bertawakkal–”I’ve done my very best, so whatever will be, will be.”
Thirdly, just keep moving forward, don’t look back, you can slow down but don’t stop, because hardship won’t last forever. At some point things will get easier. If not, then you haven’t pass through the storm, maybe you haven’t faced the center of the storm–brace yourself, but after that things will get better. Remember Dory’s song, “Just keep swimming.. Just keep swimming”
Good luck!
Butuh meluapkan kisahmu? Kirim ke https://yasirmukhtar.tumblr.com/submit.
- Abdulullah bin umar berkata,
‘Makanan yang barakah adalah makanan yang mendorong orang yang memakannya semakin taat setelah makan.’
- Dalam Q.S Qashash 22:28,
kisah nabi musa mengajarkan kepada kita bahwa rezeki yang paling penting adalah kebaikannya.
Dalam hadits nabi, beliau bersabda, “Allah merahmati seseorang yang bekerja dengan baik (rezeki yang baik), membelanjakan harta dengan sederhana (tidak berlebih lebihan), dan menyisikan sebagian untuk berjaga-jaga ketika sulit atau sakit.”
Apa yang dimaksud dengan Cukup dan Mencukupkan?
1. bekerja dengan baik (rezeki yang baik) Suatu saat nabi melihat ada seseorang yang bekerja dengan begitu keras hingga kepayahan, lalu nabi memuji dia dengan mengatakan, “ada banyak dosa yang dia tidak bisa hapus kecuali dengan bekerja keras.” 2. membelanjakan harta dengan sederhana (tidak berlebih lebihan), - Bisa membedakan mana kewajiban, kebutuhan, dan keinginan. - Perlu melakukan financial check-up (melihat perilaku kita saat berbelanja). 3. menyisikan sebagian untuk berjaga-jaga ketika sulit atau sakit.
Peran perempuan dalam keluarga adalah mengajarkan pola konsumsi kepada anak-anak. Jika sudah melebihi nisab, maka keluarkan zakat. Kemudian, membayar sesuatu yang bersifat wajib seperti hutang, cicilan rumah. Proporsi hutang 30%, maksimal 40%. Kemudian, sisikan untuk hak masa depan seperti dana cadangan. Selalu usahakan bisa menyisikan untuk dana cadangan, tetapkan dana cadangan berapa persen dari pendapatan. Jika dana cadangan yang ditetapkan sudah tercapai, baru bisa diinvestasikan. Pisahkan setiap rekening sesuai dengan proporsi yang sudah ditetapkan.
a. Tidak akan bergerak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya dua hal tentang rezekinya: 1) Dapat darimana 2) Dibelanjakan untuk apa. b. Ciri harta yang barakah adalah yang dapat dipertanggung jawabkan.
Ketika semua hal tersebut telah kita jaga, maka keberkahan akan membuat hidup kita menjadi lebih baik. 1) Rezekinya halalan thayiban 2) Kehidupannya hayatan thayiban 3) Punya anak, dzuriyatan thayiban
Penyebab rezeki tidak berkah dan cara menghindarinya: 1. Sumbernya tidak halal, maka sangat penting untuk mengikhtiarkan kehalalan rezeki kita. Tidak halal bisa dilihat dari zat nya dan cara mengusahakannya. a. Ketika banyak factor sumber pendapatan kita yang tidak barakah, maka itulah kenapa harta kita harus dibersihkan dengan kita berzakat. Dalam alquran disebutkan bahwa zakat itu berfungsi untuk membersihkan harta dan membersihkan jiwa. b. Ada hadist nabi yang mengatakan, “Orang itu barakah Ketika memulai harinya dengan sedekah.’ c. Kita harus bersungguh-sungguh membersihkan dari kemungkinan yang tidak berkah 2. Dari apa yang kita konsumsi, misalnya duduk saat makan, membaca bismillah adalah bagian dari menjaga keberkahan. 3. Lupa sama Allah, maka kita harus selalu bersyukur dengan sungguh-sungguh denga napa yang kita dapatkan. Karena rasa syukur itu bagian dari kebarakahan. Kita jarang bersyukur sama Allah, bisa jadi menjadi sebab ketidakberkahan.
Kefakiran dekat dengan kekafiran
Doa yang diajarkan nabi Muhammad dalam Al ma’tsurat , ‘Allahuma innana’udzubika minal kufri wal fakr, wanna’udzubika min ‘adzabil khabri lailaha illa anta’, ‘ Kami berlindung dari kekafiran dan dari kefakiran, kami berlindung dari azab kubur, tiada tuhan selain engkau ya Allah.’
Kondisi Perempuan Bekerja - Ketika sudah menikah, tanggung jawab nafkah ada di suami. Pengasuhan anak adalah tanggung jawab utama perempuan. - Tidak ada larangan perempuan bekerja, rekomendasi buku : profesi- profesi di zaman Rosulullah. Istri Rosulullah, Zainab binti Jahaz jago menjahit. Bunda aisyah hingga meninggal masih mengajar. Yang paling penting dikomunikasikan dengan baik antara suami dan isteri, dapat ridho suami.
Ukuran diperbolehkan perempuan bekerja
Tidak melalaikan kewajiban utama perempuan
Tidak ada fitnah di tempat pekerjaan yang baik.
___
Mulazamah Tarbiyatul Islam (MTI) merupakan program beasiswa pembinaan Frasa secara intensif setiap hari Rabu selama 5 bulan, dengan kuota 30 peserta terpilih. Materi yang didapatkan meliputi aqidah, tazkiyatun nafs, akhlak, dan self-development.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
Tersadar betapa mendangkalnya diri ini, akibat terlalu banyak konsumsi konten bergizi rendah.
Konten kecil, ringan, renyah, gurih atau manis, namun terus menerus memenuhi isi kepala. Menyisakan sedikit saja ruang untuk hal yang bergizi tinggi.
Mungkin itulah mengapa belakangan lemah sekali dorongan saya untuk menulis—sebab tidak ada isi yang layak dituangkan dari kepala ini.
Saya tetap membaca buku sebenarnya. Tapi saya sadar, waktu saya untuk berefleksi menjadi berkurang. Alih-alih, di waktu tersebut pikiran saya tergunakan untuk “luntang lantung” di linimasa.
Yep, selain membutuhkan asupan, pikiran pun membutuhkan ruang untuk berefleksi—untuk mengolah, menyerap, dan mendistribusikan asupan ke seluruh penjuru hidup kita.
Maka, mari kembali membuang semua hal, kecuali yang mengantarkan kita pada kepuasan hidup.
Hai pikiran, kamu ikut puasa bersama perut dan nafsu ya.
Ketika hati saya gusar, terganggu akibat suatu peristiwa di luar diri saya, kadang saya teringat dengan kisah sebungkus garam, sebotol air, dan sebuah danau—dengan berbagai versinya. Mungkin kamu juga pernah mendengarnya.
Berikut kisahnya—versi saya.
Seorang santri sedang berjalan bersama ustadznya ke sebuah tempat.
Mendapatkan kesempatan untuk mengobrol, Santri mengadu kepada ustadznya bahwa ia kesal setiap kali membuka media sosial. Pasalnya, ia sering menemukan orang-orang mem-bully kyai dan tokoh-tokoh panutannya yang ia anggap soleh.
Ia juga heran, bagaimana bisa kyai dan para tokoh panutan itu tetap tenang menjalani hidup di tengah segala caci maki, seolah tidak terjadi apa-apa.
Sang Ustadz tersenyum, mengajak Santri melewati sebuah danau yang tak jauh dari tempat tujuan mereka. “Tolong belikan sebotol air mineral di warung itu”, kata Ustadz. “Oh ya, sekalian, satu bungkus garam ya”.
Santri keheranan. Tapi, menduga bahwa ia akan mendapatkan sebuah jawaban, ia penuhi permintaan ustadznya tanpa bertanya.
Tibalah mereka di pinggir danau.
“Ini, Ustadz”, Santri menyerahkan air mineral dan garam yang diminta Ustadz.
Ustadz pun mengambil segenggam garam, dimasukkannya ke dalam botol berisi air mineral, lalu diaduknya sebentar. “Coba, rasakan air dalam botol ini”, kata Ustadz.
Dengan wajah agak meringis, Santri mencicipi air dalam botol itu. “Asin, Ustadz”, katanya dengan ekspresi wajah yang aneh.
Lalu, Ustadz melempar sisa garam yang ada ke danau.
“Sekarang, kamu rasakan air danau ini”, pinta Ustadz.
Santri pun memasukkan air danau ke mulutnya, layaknya berkumur untuk berwudhu. “Mm.. Tawar, Ustadz”, katanya.
Ustadz dan santri kembali berjalan. “Nah.. Botol dan danau ini seperti hati manusia. Ada hati yang begitu sempit, ada pula hati yang luas. Bagi hati yang sempit, sejumlah ujian bisa mengacaukan pemiliknya, layaknya garam yang membuat asin seisi air dalam botol. Tetapi bagi hati yang luas, ujian yang sama mungkin tidak akan cukup untuk mengganggu sang pemiliknya, sebagaimana sebungkus garam yang hilang tanpa meninggalkan rasa di danau tadi.”
Santri pun berefleksi. Pikirnya, mungkin hatinya masih sekelas botol air mineral, sementara hati kyai dan tokoh-tokoh panutannya sekelas danau luas. Ah, saatnya belajar melapangkan hati.
Bisa relate?
Nah, pertanyaannya, gimana cara kita melapangkan hati?
Kapan-kapan kita eksplorasi.
Bismillah.
Baru-baru ini saya menyadari suatu hal: jika kita bisa memandang keluarga sebagaimana kita memandang sebuah perusahaan, maka mengelola keluarga ternyata bisa lebih challenging daripada mengelola perusahaan.
Di sisi lain, jika kita mau serius mengelola keluarga seserius kita mengelola perusahaan, maka reward yang akan kita rasakan juga akan jauh lebih besar dibanding jika kita mengelolanya “ala kadarnya” (seperti yang kita lakukan sekarang ini, mungkin).
Mari kita perhatikan beberapa aspek pada perusahaan yang bisa kita jadikan analogi terhadap keluarga: mengapa suatu perusahaan lahir, bagaimana suatu perusahaan dijalankan, dan bagaimana perusahaan berekspansi.
Pertama, mengapa suatu perusahaan lahir.
Paling tidak, biasanya ada dua alasan yang melatari lahirnya suatu perusahaan: (1) motif mencari keuntungan dan (2) hasrat ingin menyelesaikan suatu masalah atau ingin memberikan nilai tambah pada suatu hal.
Seberapa mungkin perusahaan yang lahir dengan proposisi lemah seperti “Ya, karena saya harus membangun perusahaan? Masa tidak? Emang saya harus ngapain lagi?” akan menjadi perusahaan yang sejahtera dan berumur panjang? (Sangat kecil kemungkinannya menurut common sense saya–tapi mungkin saya salah).
Sekarang coba kita jadikan ini analogi terhadap keluarga: mengapa suatu keluarga lahir. Kira-kira, keluarga seperti apa yang akan terbentuk jika alasan pernikahan dua insan yang membentuknya adalah, “Ya, karena saya harus? Karena semua orang melakukannya? Karena sudah saatnya? Masa ngga nikah?”.
Bahkan, menurut pendapat saya, alasan “Ingin beribadah” atau “Menunaikan sunnah Rasul” masih termasuk alasan yang terlalu general, terlalu luas, sehingga tidak menciptakan sense of direction–kita tahu tujuan spesifik kita, dan kita bisa mengukur di mana posisi kita saat ini relatif terhadap tujuan itu. Akibatnya, kehidupan setelah pernikahan seperti menaiki sekoci di lautan lepas tanpa kompas dan dayung, terombang ambing begitu saja, hanya mengandalkan takdir untuk bisa menemukan daratan.
Alih-alih, saya pikir sebaiknya dua insan yang mau menikah punya proposisi yang kuat untuk melakukan pernikahan. Meski trigger-nya adalah let’s say “cinta”, tapi ngga ada salahnya kita berefleksi dan menyepakati apa yang mau kita capai dengan pernikahan ini.
Mungkin sebagian dari kita dulu punya hal seperti ini (”Visi pernikahan: mengubah dunia menjadi lebih baik”), sayangnya di tengah perjalanan kita terdistraksi oleh berbagai hal lalu lupa–sebagaimana perusahaan yang sudah lahir, mulai established menjalani business as usual, lalu lupa akan true north star-nya.
Kedua, bagaimana suatu perusahaan dijalankan.
Katakanlah perusahaan mulai tumbuh. Hal-hal yang harus diurusi semakin banyak, sehingga perusahaan mulai hiring dan menempatkan orang dengan peran-peran spesifik.
Ada yang di-assign khusus mengurusi keuangan, ada yang khusus mengurusi manusia (HR), dan seterusnya. Semakin mature perusahaan, semakin banyak role “aneh” yang terbentuk dan memerlukan orang untuk memikirkannya, katakanlah impact manager, growth hacker, dan lainnya.
Dalam konteks perusahaan, hal ini gampang gampang susah. Tidak mudah, tapi selama ada uang dan ada leadership yang bagus, maka hal seperti ini bisa dikelola.
Dalam konteks keluarga, hal seperti itu susah susah gampang (susahnya 2x), karena kita tidak bisa hiring begitu saja. Beberapa tugas mungkin kita bisa assign ke orang lain, misalnya urusan beres-beres rumah ke asisten rumah tangga, urusan ngasuh anak sebagian kita berikan ke daycare/pengasuh/orang tua, urusan makanan kita assign ke GoFood. Tapi banyak sekali hal yang tidak bisa kita assign ke orang lain.
Urusan pengelolaan keuangan harus kita kerjakan sendiri (perencanaan, monitoring, evaluasi, dll) (kecuali kamu udah kaya dari dulu dan tinggal bayar financial advisor dan ikuti advice-nya, tapi saya ragu juga apakah kita bisa ikuti secara mindlessly).
Belum lagi urusan infrastruktur (sewa atau beli rumah? mobil, laptop, internet, mesin cuci, dll), itu semua harus direncanakan pengadaannya dan di-maintenance.
Belum lagi urusan pendidikan, baik formal maupun nonformal, bagi diri kita, pasangan kita, dan anak kita–tumbuh kembangnya, lingkungan pertemanannya, lingkungan sekitarnya (polusi? aman dari kejahatan? dll), dan banyak lagi. Variabelnya kompleks.
Belum lagi urusan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan tetangga, hubungan dengan keluarga besar. Tidak bisa di-outsource.
Semua kompleksitas itu harus kita handle dengan dua kepala saja, kepala kita dan pasangan kita. Ini seperti punya perusahaan yang manajemennya cuma dua, lalu dua orang ini punya titel CEO, CFO, COO, CHRO, PR, dan berbagai peran lain secara horizontal dan vertikal.
Gimana tuh? Susah ngga?
Susah, kalau kita mau mengelola keluarga secara mindful, intensional, diniatin.
Gampang, kalau kita mau mengelola keluarga secara que sera sera, whatever will be will be, jadi apapun juga tidak peduli, tahu-tahu tua dan wafat.
Ketiga, bagaimana perusahaan berekspansi.
Suatu perusahaan bisa berekspansi jika model bisnis dasarnya sudah proven. Idealnya sih sudah profitable, walaupun dengan lahirnya tech startup kita melihat realitas lain (emang para unicorn itu udah profitable?).
Mereka sudah tidak struggle dengan urusan dasar lagi (highlight this, ini bottom line-nya). Mereka sibuk delivering more and more values untuk para pelanggan dan para pelanggan potensial.
Contohnya Google (kalau yang ini sih udah profitable). Saking banyaknya duit dia, dia punya ruang yang sangat besar untuk melakukan berbagai eksperimen yang secara bisnis ngga jelas apakah akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan atau tidak. Disposable money, burn-able money.
Kalau eksperimennya gagal yowes, move on. Kalau berhasil ya bagus, bisa jadi sesuatu. Misalnya, mereka bikin autonomous car yang mungkin baru kerasa manfaatnya 20 tahun mendatang, atau mungkin ada yang masih inget Google Glass (yang nampaknya muncul terlalu dini), atau Google Loon yang menyediakan akses internet di area rural pake balon udara.
Kalau kita bawa ke konteks keluarga, ini adalah keluarga yang udah deliver values to the people outside their family. Entah mereka bikin buku yang mengubah hidup orang, atau bikin workshop mengenal tujuan hidup kayak temen saya, atau membuat lapangan pekerjaan buat warga sekitar, dan lainnya.
Apakah mereka sudah selesai dengan berbagai urusan mendasar? Ini pertanyaan yang tricky. Memangnya kapan urusan mendasar bisa dikatakan selesai? Sulit menjawabnya.
Pendapat saya adalah apapun kondisi “urusan mendasar” mereka, mereka sudah mampu memfokuskan perhatian dan energi mereka pada hal-hal di luar urusan mendasar itu (baca lagi bottom line di atas).
Mungkin secara materil uangnya ngga banyak. Mungkin uang kamu lebih banyak malah. Tapi mereka ngga ambil pusing dan ngga terlalu fokus di situ karena somehow mereka merasa aspek itu cukup lah.
Mungkin secara infrastruktur ngga sememadai infrastruktur kamu. Mungkin kamu ngga akan betah tinggal di rumah mereka. Tapi bagi mereka itu cukup, “let’s put our attention on something else”.
Kesimpulan.
Mungkin banyak dari kita yang mulai menjalani kehidupan keluarga secara business as usual. Berpindah dari satu gajian ke gajian lain, dari satu “pengen beli ini” ke “pengen beli ini” yang lain. Seriously, do you want to live your life like that forever?
Mungkin banyak juga dari kita yang lebih excited mengurusi pekerjaan di kantor, di kampus, atau di manapun tempat kita berkarya/mengabdi. Urusan rumah kita anggap membosankan, kurang menantang, tidak perlu mengeluarkan upaya terbaik kita (diajak ngobrol soal rumah sama pasangan, dalam hati kita “Apasih?”, “Yaudah nih uang biar cepet”). Padahal bahkan seorang CEO belum tentu bisa mengelola rumah tangganya sendiri sebaik ia mengelola perusahaannya (so probably it’s not as easy-boring as it seems).
Mungkin juga banyak dari kita yang menengok rumput tetangga via Instagram lalu muncul desiran “ingin seperti keluarga X tapi apalah daya takdirku begini”, lalu malah muncul penyakit hati iri dengki dan kawan-kawannya. Atau malah kita tidak mau kalah lalu berusaha mengimpresi orang-orang tentang keluarga kita, lalu kita menjadi budak citra, likes, dan pujian. Menderita ngga sih?
Mungkin dimulai dengan perspektif yang tepat, institusi yang namanya keluarga ini bisa jadi sarana aktualisasi diri kita yang utama. Mungkin dia bisa menjadi dongkrak atau bahkan rocketship bagi kita untuk jadi seseorang yang signifikan hidupnya.
Assalamu 'alaikum, kak Yasir. Sy telah melakukan tindakan dan mengambil bbrp keputusan yg ternyata salah, dlm hidup sy selama 2 th terakhir menjalani pendidikan S2. Akhirnya sy jadi yg paling lambat progresnya dibanding tman kelas yg lain. Pdhl dulu, sy termasuk aktif di kelas. Sy minder banget dan merasa gagal krn blm mulai tesis smpai skrg. Perasaan ini malah bikin sy berusaha mencari pengalihan shingga progres sy tetap melambat. Mohon saran dan nasihatnya, kak. Trimakasih.
Wa’alaykumussalam Wr Wb.Maaf banget–kalau kamu masih baca blog ini, saya baru jawab sekarang. Ini pertanyaan udah lama banget. Mungkin kamu udah selesaikan S2 kamu saat ini.
Saya ingin berpendapat tentang ini karena barangkali ada temen-temen lain yang sekarang situasinya mirip dengan situasi kamu saat itu.
Apa yang kamu alamin sedikit banyak juga saya rasain meski dalam konteks dan kadar yang berbeda. Kalau saya konteksnya adalah karir. Saya akan berbagi hal yang saya lakukan yang kira-kira relevan untuk menghadapi situasi itu.
Pertama, berangkat dari kepercayaan bahwa kita ini ga buruk, ga bodoh. Kita perlu sadar bahwa kita punya kekuatan. Kalau bisa, coba telusuri bukti-bukti di masa lalu bahwa kita ini orang yang keren, prestatif, cerdas, atau atribut positif lainnya.
Hanya saja, situasi sekarang ga mendukung kita untuk menjadi versi terbaik diri kita. Entah itu karena keputusan-keputusan yang kita ambil maupun karena faktor eksternal.
Bukan mengajarkan untuk punya mental playing victim ya, cuma menurut saya sah jika kita ngerasa ada hal-hal di luar diri kita yang memengaruhi pikiran dan mental kita sehingga entah bagaimana kita jadi ga optimal. Justru, ini perlu kita identifikasi supaya kita ngerti apa yang terjadi.
Kedua, menurut saya ya, dalam situasi kayak gini kita perlu mengumpulkan banyak energi mental dan mengurangi saluran-saluran yang mengurasnya. Misalnya, kalau dengan break satu pekan kamu bisa ngerasa ke-recharge, so be it. Kalau dengan interaksi sama temen-temen kamu ngerasa terkuras, bilang aja bahwa kamu lagi perlu sendiri dan kurangi interaksi sama mereka.
Sesuatu yang sangat boleh menjadi egois ketika kondisi mental kita kurang sehat. Ini advice yang saya dapat waktu saya konsultasi ke psikolog.
Ketiga, kita perlu lingkungan yang suportif. Diantara cara menciptakannya ya kita mesti cerita situasi kita, ketakutan kita, ke orang-orang yang berurusan sama kita. Supervisor, peer, keluarga, dll. Ini berguna untuk menetapkan ekspektasi dari orang lain kepada diri kita, menghilangkan sebagian beban untuk tampil “sempurna” di mata mereka, sebagai bonus barangkali mendapatkan dukungan moral dari mereka.
Keempat, bikin milestone-milestone kecil dan belajar mengapresiasi diri kita sendiri. Coba bikin jurnal harian di mana kita mengapresiasi hal-hal positif yang terjadi hari itu. Ini membantu mengarahkan pikiran kita untuk fokus pada hal baik dan ngga tenggelam dengan pikiran negatif, karena seringkali kita tuh di mata orang baik-baik aja, tapi kita sendiri secara mental “memukuli” diri kita sendiri habis-habisan.
Dari situ, semoga bola salju positivitas bisa bergulir, makin besar dan makin kuat sehingga mengantarkan kamu kembali ke performa terbaik kamu.
“Segala sesuatu yang ingin kau bawa ke akhirat, siapkan dari sekarang. Dan sesuatu yang tidak ingin kau bawa, tinggalkan dari sekarang.”
— Abu Hazim Salamah bin Dinar
Penasaran, kalau suatu hari ditanya gini saya bisa jawab dengan baik ngga ya:
“Allah itu tercipta dari apa?”
Jawaban dari ini emang bersifat aksiomatik, artinya sebuah kebenaran yang “emang begitu adanya”, tinggal diterima.
“Allah tidak tercipta dari apa-apa, karena Allah tidak ada yang menciptakan. Allah ada tanpa diawali dan tidak akan pernah berakhir seperti manusia. Kalau sesuatu terbuat dari sebuah material dan ada yang menciptakan, berarti namanya makhluk, dan ngga pantas dianggap tuhan.
Yang pantas disebut tuhan itu adalah sesuatu saking hebatnya hingga mampu menciptakan apapun tanpa ada yang menciptakan dirinya sebelumnya. Kamu mau menyembah tuhan yang diciptakan oleh sesuatu yang lebih kuat darinya?”
Tapi, jawaban aksiomatik gitu akan sulit diterima bagi yang belum menjalani proses berpikirnya, apalagi untuk anak-anak. Makanya mungkin lebih baik kalau dijawab dengan ngajak mikir dulu.
Gini. Kalau kamu bikin robot, apa berarti kamu adalah tuhan karena menciptakan robot? Enggak? Kenapa? Karena kamu harus dibuat dulu lewat rahim Ibu kamu, terus dilahirkan ke dunia. Masa tuhan harus dibuat dulu, terus dilahirkan? Kalau begitu yang lebih berkuasa yang dilahirkan atau yang melahirkan?
Terus, apakah Ibu kamu adalah tuhan karena melahirkan kamu? Enggak? Kenapa? Karena Ibu kamu juga ada yang membuatnya lewat rahim nenek kamu, terus dilahirkan ke dunia juga.
Begitu terus, nenek kamu dilahirkan buyut kamu, sampai ke Nabi Adam. Terus, apa Nabi Adam adalah tuhan karena mengawali semua manusia? Enggak? Kenapa? Karena Nabi Adam juga ada yang menciptakan. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama “Allah”.
Yang menciptakan Allah siapa? Engga ada. Udah mentok. Sang Pencipta Nabi Adam ada tanpa ada yang menciptakan dan ngga pernah ngga ada.
Kok bisa sih Allah ada tanpa ada yang menciptakan? Padahal segala sesuatu pasti ada penciptanya?
Gini. Segala sesuatu yang kita tau, termasuk aturan “segala sesuatu pasti ada penciptanya”, itu adalah ciptaan Allah. Allah juga bikin aturan-aturan lain, kayak fisika, matematika, kimia, biologi, astronomi, semuanya aturan yang dibikin Allah.
Semua aturan itu tunduk sesuai perintah dan kehendak Allah, tapi Allah ngga tunduk sama aturan-aturan itu–ya karena mereka semua cuma ciptaan Allah.
Jadi, hukum fisika, matematika, kimia, biologi, termasuk aturan “segala sesuatu pasti ada penciptanya” itu tidak berlaku buat Allah. Allah bisa ada tanpa perlu ada yang menciptakan, tanpa bahan-bahan seperti yang kita pahami di kimia, tanpa ada yang melahirkan seperti yang kita pahami di biologi.
Itulah kenapa kita menyebutnya “Tuhan”–karena Dia ngga sama dengan apapun yang diciptakan-Nya.
Hmm, nampaknya itu pun masih terlalu kompleks untuk anak-anak.
Let me try this one more time:
“Allah itu tercipta dari apa?”
Allah itu ngga tercipta dari apa-apa, Nak, karena Allah ngga diciptakan. Allah ada sendiri tanpa proses penciptaan. Kenapa bisa begitu? Karena Tuhan memang seharusnya begitu, tidak bergantung pada apapun. Satu-satunya yang bisa kayak gitu cuma Allah, makanya kita mengakui dan menyembah-Nya sebagai Tuhan, saking hebatnya.
Disclaimer: ini bukan tulisan edukasi tentang konsep takwa. Ini sepenuhnya refleksi pribadi saya. Tidak disarankan untuk menjadikannya referensi. Mohon diproses dengan pikiran sendiri, tidak ditelan bulat-bulat. Jika tergelitik, silakan lakukan penelitian dan perenungan sendiri.
* * *
Pasti kita udah sering denger terminologi “takwa”.
Kalau ditanya apa itu takwa, kebanyakan orang akan menjawab: “Menaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.”
Saya ngga pernah puas dengan definisi itu. Maaf ya, izinkan saya jujur secara brutal, definisi itu normatif dan ngga inspiring. Ngga menggugah selera untuk bersemangat mendapatkannya. (Pahami bahwa saya bukan bilang takwa itu ngga menarik, tapi pemaknaan/penafsiran kita atas konsep takwa yang belum memuaskan).
Iya, menurut saya, kalau sesuatu itu penting menurut sunnatullah (atau hukum alam, versi bahasa universalnya), maka secara alamiah pasti kita akan tertarik ke arah sana. Maka, saya curiga, jangan-jangan ada definisi yang lebih dalam, lebih menggugah, lebih membuka kesadaran daripada yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Misalnya, siapa sih orang waras, berakal yang dalam hidupnya ngga pernah bertanya “Kenapa aku ada?”, “Untuk apa aku ada?”, “Apa yang penciptaku inginkan dengan menciptakan aku ke alam ini?”. Saya percaya ini pertanyaan yang universal, yang kalaupun ngga diajarkan di sekolah, secara alamiah kita akan mempertanyakan ini, cepat atau lambat.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting. Mereka akan mendorong kita mencari Tuhan, memahami diri kita, mencari petunjuk dari Sang Pencipta–yang semua jawabannya sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita temukan. Karena itu, Allah sudah tanamkan stimulusnya berupa rasa penasaran yang instingtif. Kita tertarik untuk mengenali pencipta kita secara alamiah.
Nah, takwa itu disebutkan di berbagai ayat Al-Quran, menjadi tujuan dari berbagai perintah–yang salah satunya puasa di bulan Ramadhan, maka pastinya penting. Kalau penting, pastinya insting alamiah kita akan bereaksi secara positif (tergugah, terinspirasi) jika kita memahaminya dengan cara yang seharusnya.
Singkat cerita, saya menemukan definisi takwa yang memuaskan bagi hati saya. Saya menemukannya dalam tafsir Al-Quran “The Message of the Quran” karya Muhammad Asad. Definisinya:
Kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasarkan kesadaran ini.
Atau sederhananya, takwa adalah “kesadaran akan hadirnya Allah”.
Buat saya, definisi ini lebih memuaskan daripada yang selama ini saya terima. Coba kita tempatkan kedua definisi takwa dalam konteks perintah puasa Ramadhan.
Dalam definisi takwa pertama, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam definisi takwa kedua, kita diwajibkan berpuasa dengan tujuan agar kita selalu sadar akan kehadiran Allah.
Kita tempatkan juga kedua definisi takwa itu dalam konteks ayat permulaan Al-Baqarah.
Dalam definisi pertama, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Dalam definisi kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang sadar akan kehadiran Allah. Yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah berikan.
Gimana?
Apa lebih bisa dipahami? Apa lebih membuka kesadaran? Apa lebih menggugah? Kalau buat saya, iya banget.
Ketika berpuasa, kita bisa aja minum atau ngemil di siang hari, selama ngga ada manusia yang liat. Tapi yang menahan diri kita apa? Kesadaran akan hadirnya Allah, yang mungkin ngga begitu kita ingat kalau kita ngga puasa.
Ketika berbuka, kita seneng banget tuh, kita berdoa sebelum berbuka, “Ya Allah, terimalah puasaku dan segala amal ibadahku hari ini”. Lagi-lagi, kita distimulasi untuk menghadirkan kesadaran bahwa apa yang kita lakukan ini disaksikan oleh Allah.
Dari situ, sebenarnya kita bisa lihat bahwa menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (khususnya shaum Ramadhan) adalah stimulan untuk membangun kesadaran akan kehadiran Allah.
Dengan syarat, ketaatan dalam perintah dan larangan-Nya dilakukan dengan benar ya: kalau shalat khusyu’, kalau puasa ikhlas (mindful, aware, niat dari dalam hati), kalau sedekah bukan untuk ngebuang recehan.
Sebaliknya, kesadaran akan kehadiran Allah juga akan memperkuat kemampuan seseorang untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (”Oke, mau menghadap Allah nih, masa aku shalat pake baju bekas bobo?”). Jadi, saya pikir ini seperti continuous feedback loop.
Oke, meskipun ini perenungan pribadi, karena ini dipublikasikan maka saya tetap harus bertanggung jawab menutupnya dengan baik.
“Mengasah kesadaran akan kehadiran Allah” adalah closing yang berat, tapi paling engga saya bisa bagikan beberapa usaha saya untuk melatihnya.
Pertama, bangun mental model hubungan antara kita dan Allah yang lebih personal. Alih-alih berpikir bahwa kita cuma satu makhluk yang ngga signifikan dan mungkin ngga Allah pedulikan karena Dia “sibuk” dengan alam semesta dan manusia lain yang istimewa, ingat bahwa Allah juga Maha Dekat, Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Menyayangi, Maha Memperhatikan sehingga kamu bisa berkomunikasi secara personal dengan Allah.
Dia tidak seperti manusia yang kalau banyak kerjaan pusing dan skip, Dia menunggu kamu untuk datang kepada-Nya. Berkomunikasi, berterima kasih, meminta maaf, berharap, menangis.
Ingat juga bahwa Dia available setiap waktu, ngga cuma di waktu shalat–misalnya. Lagi kerja, lagi ngasuh anak, lagi beberes rumah; lagi senang, lagi marah, lagi sedih; kamu bisa berkomunikasi dengan Allah tentang hal seremeh apapun.
Kedua, pahami bacaan dan doa-doa dalam ibadah. Iya, misalnya bacaan shalat, coba dipahami. Caranya jangan cuma baca artinya secara keseluruhan, tapi pelajari kata per kata.
“Rabbi”–wahai Tuhanku, “ighfirli”–ampuni dosaku, “warhamni”–sayangi aku, “wajburni”–cukupilah aku, “warfa’ni”–tinggikan derajatku, “warzuqni”–berilah aku rezeki, “wahdini”–berilah aku petunjuk, “wa’afini”–sehatkan aku, “wa’fu’anni”–maafkanlah aku.
Bisa pelajari juga akar katanya, misal “ighfirli” dari kata “ghafara”, yang artinya “mengampuni”, asal maknanya “menutup”. Wah ini bisa didalami lebih jauh lagi, silakan cari sendiri ya.
Sedikit belajar Bahasa Arab, biar setiap kita mengucapkan doa dalam shalat, hati kita tahu betul kita sedang berkomunikasi apa dengan Allah. Biar setiap beristighfar, bertasbih, bertahmid, hati kita benar-benar mean it.
Ketiga, sering-sering mikirin what this life is all about. Bayangin setelah membaca ini kamu terkena serangan jantung lalu meninggal, kamu ngerasa siap apa engga? Kalau engga, kenapa? Karena ngga ada amal yang bisa dibanggakan? Kalau gitu itu PR kamu, segera bikin amal yang bisa kamu banggakan saat dihisab nanti.
Atau karena banyak dosa? PR kamu adalah taubat + mengubur dosa-dosa dengan amal baik yang banyak.
Kalau ingat bahwa kita belum siap dihitung amal dan dosanya di hadapan Allah, kita jadi bisa melihat apakah karir, bisnis, investasi yang kita upayakan itu adalah sarana mempersiapkan diri atau menjadi distraksi dari apa yang benar-benar penting.
Coba bikin daftar yang harus kamu siapkan agar jika suatu hari kamu terbaring di rumah sakit, sadar ga lama lagi kamu akan mati, hati kamu ngerasa tenang dan siap menghadap Allah, seperti yang dideskripsikan di Al-Fajr:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Misalnya, jika profil kamu adalah seorang ayah dan suami:
1. Sedekah rutin untuk anak yatim (misalnya ini amal andalan kamu) 2. Istri dan anak yang siap ditinggalkan secara mental dan bertekad untuk menyusul saya di surga (melanjutkan berbagai amal sholeh sepeninggal kamu) 3. Rumah untuk anak dan istri biar mereka punya tempat bernaung 4. Passive income untuk menafkahi keluarga meski saya ngga ada, biar mereka ngga susah dan menyusahkan orang lain (3 dan 4 sekilas materialistis, tapi tujuannya bernilai amal sholeh)
Itu daftar simplistik dan contoh aja.
Poinnya adalah sering-sering melatih diri kita mengingat apa yang paling esensial dalam hidup (yaitu siap ketika sudah saatnya kita menghadap Allah) dan mengkalibrasi terus menerus kesibukan kita supaya selalu dalam kerangka membuat Allah ridha sama kita.
So, mari kita membangun, mengasah, dan menjaga kesadaran kita akan ke-Maha-Hadiran Allah.
Wallahu’alam.
Tulisan ini mungkin relevan untuk kamu yang:
Masih menjalani sebuah pendidikan–entah di sekolah atau di kampus, tapi sebenernya ngga bener-bener tau bagaimana pendidikan yang kamu jalani akan membantu mencapai apa yang kamu inginkan dalam hidup
Baru lulus sebuah jenjang pendidikan, tapi ngga tau apakah sebaiknya lanjut sekolah, kerja, memulai bisnis, atau ngapain
Udah selesai dengan pendidikan formal, mulai settle dengan kehidupan yang “sesungguhnya”, tapi ngerasa hampa–ngerasa “no one” karena ngga punya keahlian spesifik
* * *
Jadi, dalam perjalanan saya menggarap proyek Esensify, saya banyak baca buku dan banyak terinspirasi (tentu saja, sebab Esensify kerjaannya emang bikin intisari buku).
Salah satu buku yang lagi saya buatkan intisarinya adalah buku “Ultralearning” (bisa dibeli di Amazon)
Singkatnya, buku ini ngajarin prinsip, strategi, dan taktik yang bisa kita gunakan kalau kita mau belajar sebuah keterampilan atau ilmu dengan efektif, efisien, cepat.
Si penulis cerita, dia lulus semua ujian program sarjana computer science MIT dalam kurang dari setahun (yang wajarnya dicapai dalam empat tahun), tanpa pernah menjadi mahasiswa MIT. Dia belajar sendiri.
Ada juga beberapa cerita ultralearner lain, misalnya cerita tentang orang yang bikin game Stardew Valley sendirian. Dia sendiri belajar ngoding, pixel art, komposisi musik, sampai pemasaran game-nya. Kalau anak Steam pasti tau game ini.
Saya sadar bahwa gagasan “pendidikan formal udah outdated” bukanlah sesuatu yang baru.
Waktu kuliah dulu, ada diskusi bahwa pendidikan tinggi tidak berkontribusi signifikan menurunkan angka pengangguran meski angka orang yang mengenyam pendidikan tinggi naik.
Sebagian orang juga udah memulai homeschooling sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, karena saya cukup konservatif kali ya, saya ngga pernah anggap itu alternatif yang serius untuk pendidikan.
Tapi, kali ini, kombinasi dari pengalaman saya selama berkarir dan insight dari buku ini membuat saya akhirnya mau bangun dan serius memikirkannya, paling engga untuk saya dan keluarga saya.
Untuk memberikan konteks yang lebih jelas, begini.
Di industri saya, tech startup, kita semakin ngga peduli dengan latar belakang pendidikan formal kandidat (kebetulan saya udah 6 tahun berurusan dengan hiring orang, jadi saya yakin dengan observasi ini). Banyak software engineer yang di atas kertas “cuma” lulusan SMK, tapi bisa mengimbangi bahkan outperform yang lulusan S1 ilmu komputer–misalnya. Ini riil. Makanya coding bootcamp semakin menjamur.
Kalau kita berorientasi pada hasil, kuliah S1 yang bisa makan waktu 3,5 sampai 6 tahun dan berbiaya puluhan-ratusan juta bisa dicapai dengan bootcamp 3-12 bulan dengan biaya belasan juta hingga “gratis” (bayar setelah lulus dan dapat pekerjaan).
Ini ngga cuma terjadi dalam konteks software engineer, tapi juga bidang spesifik lainnya, seperti data science, design, research, product management, dan bisnis.
Kata buku ini, masalahnya adalah pada “transfer of learning”, yaitu kemampuan mengaplikasikan informasi, strategi, keterampilan yang kita pelajari dalam konteks yang berbeda.
Seringkali pelajaran dalam pendidikan formal tidak berhasil membawa konteks-konteks dalam kehidupan nyata yang kompleks, kaya, dinamis.
Ada penelitian dari Howard Gardner dalam bukunya Unschooled Mind, yang kesimpulannya adalah para mahasiswa yang menerima nilai bagus pada pelajaran fisika seringkali tidak mampu menjawab pertanyaan mendasar yang dimodifikasi dari apa yang telah diajarkan.
Atau contoh lain yang saya yakin banyak yang ngalamin, di kelas Bahasa Inggris kita diajarin grammar dan vocabulary. Pas ujian nilainya oke. Udah pede tuh, berasa jago. Tapi, saat ketemu asing beneran dan harus berbahasa Inggris, bisa nggak kita berkomunikasi sama dia?
Ada beberapa strategi yang direkomendasikan sama buku ini, salah satunya adalah direct learning, di mana kita langsung terjun ke situasi di mana keterampilan itu akan digunakan.
Contoh yang paling mudah adalah belajar bahasa. Daripada sibuk bolak-balik baca buku tentang gramatika, mending kamu bikin komunitas di mana semuanya wajib ngomong pakai bahasa tersebut. Atau, lebih baik lagi, langsung berkomunikasi dengan native speaker-nya.
Contoh lain, kalau mau belajar ngoding website, daripada belajar HTML dan CSS secara terpisah dan masing-masing berdiri sendiri (terpisah dari konteks kebutuhan kita), mending kamu bikin proyek website di mana kamu terpaksa harus menggunakan HTML dan CSS sesuai dengan situasi di mana kamu membutuhkannya.
Ada juga strategi metalearning, di mana kita melakukan pemetaan bagaimana suatu keterampilan terstruktur dan gimana cara terbaik mempelajarinya. Singkatnya, mempelajari gimana caranya untuk mempelajari sesuatu.
Contoh yang saya sendiri praktekkin setiap saya mau menaikkan “level” diri saya sendiri di pekerjaan, saya pelajari job description level yang lebih tinggi dari saya dari berbagai perusahaan besar di Indonesia dan dunia. Saya sintesiskan, lalu saya petakan gimana caranya saya bisa deliver job description itu dan langsung saya praktekkin dalam pekerjaan saya (simpelnya). And it works!
Mungkin, hari ini, belum semua bidang ilmu/keterampilan bisa diperlakukan seperti ini, misalnya bidang dengan resiko tinggi seperti kedokteran atau penerbangan. Tapi kalau kamu ngga di bidang yang beresiko tinggi seperti itu, berbahagialah karena internet menyajikan kesempatan untuk belajar apapun.
Sebagaimana jawaban untuk banyak urusan hidup: tergantung.
Kamu mau mencapai apa dengan sekolah lagi?
Bagaimana sekolah lagi mengantarkan kamu semakin dekat dengan apa yang penting bagi hidup kamu?
(Dan anyway, apa yang sungguh-sungguh penting bagi hidup kamu? Sebaiknya udah bisa jawab ini dengan mantap)
Tentu saja, bisa jadi sekolah lagi relevan untuk kamu dan mengantarkan kamu ke tujuan kamu–apapun itu.
Yang ditawarkan oleh buku ini adalah semacam argumen bahwa kalau yang kamu cari adalah penguasaan atas suatu keterampilan atau ilmu, ada rute lain yang lebih efektif dan efisien daripada pendidikan formal.
Pengen bikin bisnis? Kita bisa belajar dengan cara bikin bisnis alih-alih ambil MBA. Pengen jadi programmer? Kita bisa belajar dengan mulai bikin software alih-alih mikirin untuk kuliah ilmu komputer.
Tentu, belajarnya dengan prinsip, strategi, dan taktik yang tepat, seperti yang ditawarkan oleh buku ini.
* * *
Ps: intisari versi lengkapnya akan tampil di Esensify setelah segala infrakstruktur dan kontennya memadai.
Level minum-minum di surga.
Seorang ustadz pernah menyampaikan,
"Bagi saya, seorang aktivis dakwah yang pandai berbicara, manajemen dakwah, analisis SWOT, maupun ilmu-ilmu yang lain tapi berturut-turut subuhnya masih kesiangan, itu adalah aktivis karbitan."
Kalimat yang menohok. Betapa banyak hari ini mungkin diantara kita para aktivis dakwah yang ternyata masih demikian(?). Syuro dari pagi hingga petang, dari petang sampai malam, ataupun "agenda" dakwah lain yang menuntut sampai lembur menjelang fajar, tapi urusan yang lebih asas (baca : sholat subuh) justru ternomorduakan.
Anehnya ketika ditanya, atau bermuhasabah diri kenapa demikian selalu berlindung dengan jubah "demi dakwah". Padahal, bukankah jika memang yang diniatkan adalah untuk menyeru kepada Rabb-Nya, justru semakin merekat hubungannya kepada Rabb-Nya?
Atau mungkin ingin berlindung sebagai bentuk dari "produktivitas dakwah"? Padahal sejatinya produktivitas dakwah itu tidak diukur dari seberapa sibuk kita dengan dakwah, melainkan seberapa banyak dari aktivitas dakwah tersebut mampu meringankan beban dakwah. Jika dengan "lalainya" shubuh tadi menyebabkan hilangnya nilai kebarokahan dari dakwah itu sendiri, masihkah kita berani menyebut itu sebagai produktivitas dakwah?
Mari berbenah. Banyak diantara kita yang sebenarnya tahu bahwa satu perkara itu salah, tapi tidak mau jujur mengakui bahwa perkara itu salah, sehingga yang terjadi adalah penyangkalan yang berujung kepada ketidakmauan untuk berbenah. Ini adalah penyakit, penyakit yang tidak boleh dibiarkan terus menjangkit.
Kuncinya adalah berani jujur mengaku bahwa yang salah adalah salah, selanjutnya adalah kemauan untuk berbenah.
Berikut ini adalah delapan hal yang insyaaAllah membuat kita merasa nikmat menghafal Al-Qur’an. Tips ini kami dapatkan dari ust. Deden Makhyaruddin yang menghafal 30 juz dalam 19 hari (setoran) dan 56 hari untuk melancarkan.
Sebelum membaca lebih jauh, saya harap anda punya komitmen terlebih dahulu untuk meluangkan waktu satu jam per hari khusus untuk qur’an. Kapanpun itu, yang penting durasi satu jam.
Mau tahu lebih lanjut, yuk kita pelajari delapan prinsip dari beliau .
1. MENGHAFAL TIDAK HARUS HAFAL Allah memberi kemampuan menghafal dan mengingat yang berbeda-beda pada tiap orang. Bahkan imam besar dalam ilmu qiroat, guru dari Hafs -yang mana bacaan kita merujuk pada riwayatnya- yaitu Imam Asim menghafal Al-Quran dalam kurun waktu 20 tahun. Target menghafal kita bukanlah ‘ujung ayat’ tapi bagaimana kita menghabiskan waktu (durasi) yang sudah kita agendakan HANYA untuk menghafal.
2. BUKAN UNTUK DIBURU-BURU, BUKAN UNTUK DITUNDA-TUNDA Kalau kita sudah menetapkan durasi, bahwa dari jam 6 sampe jam 7 adalah WAKTU KHUSUS untuk menghafal misalnya, maka berapapun ayat yang dapat kita hafal tidak jadi masalah. Jangan buru-buru pindah ke ayat ke-2 jika ayat pertama belum benar-benar kita hafal. Nikmati saja saat-saat ini. Saat dimana kita bercengkrama dengan Allah. satu jam lho. Masak untuk urusan duniawi delapan jam betah, hehe. Inget, satu huruf melahirkan sepuluh pahala bukan? So, jangan buru-buru. Tapi ingat, juga bukan untuk ditunda-tunda. Habiskan saja durasi menghafal secara ‘PAS’.
3. MENGHAFAL BUKAN UNTUK KHATAM, TAPI UNTUK SETIA BERSAMA QUR’AN. Kondisi HATI yang tepat dalam menghafal adalah BERSYUKUR bukan BERSABAR. Tapi kita sering mendengar kalimat “Menghafal emang kudu sabar”, ya kan? Sebenarnya gak salah, hanya kurang pas saja. Kesannya ayat-ayat itu adalah sekarung batu di punggung kita, yang cepat-cepat kita pindahkan agar segera terbebas dari beban (khatam). Bukankah di awal surat Thoha Allah berfirman bahwa Al-Qur’an diturunkan BUKAN SEBAGAI BEBAN. Untuk apa khatam jika tidak pernah diulang? Setialah bersama Al-Qur’an.
4. SENANG DIRINDUKAN AYAT Ayat-ayat yang sudah kita baca berulang-ulang namun belum juga nyantol di memory, sebenarnya ayat itu lagi kangen sama kita. Maka katakanlah pada ayat tersebut “I miss you too…” hehe. Coba dibaca arti dan tafsirnya. Bisa jadi ayat itu adalah ‘jawaban’ dari ‘pertanyaan’ kita. Jangan buru-buru suntuk dan sumpek ketika gak hafal-hafal. Senanglah jadi orang yang dirindukan ayat.
5. MENGHAFAL SESUAP-SESUAP Nikmatnya suatu makanan itu terasa ketika kita sedang memakannya, bukan sebelum makan bukan pula setelahnya. Nikmatnya menghafal adalah ketika membaca berulang-ulang. Dan besarnya suapan juga harus pas di volume mulut kita agar makan terasa nikmat. Makan pake sendok teh gak nikmat karena terlalu sedikit, makan pake centong nasi bikin muntah karena terlalu banyak. Menghafal-pun demikian. Jika “’amma yatasa alun” terlalu panjang, maka cukuplah “’amma” diulang-ulang. Jika terlalu pendek maka lanjutkanlah sampai “’anin nabail ‘adzhim” kemudian diulang-ulang. Sesuaikan dengan kemampuan ‘mengunyah’ masing-masing anda.
6. FOKUS PADA PERBEDAAN, ABAIKAN PERSAMAAN “Fabi ayyi alaa’i rabbikuma tukadz dziban” jika kita hafal 1 ayat ini, 1 saja! maka sebenarnya kita sudah hafal 31 ayat dari 78 ayat yg ada di surat Ar-Rahman. Sudah hampir separuh surat kita hafal. Maka ayat ini dihafal satu kali saja, fokuslah pada ayat sesudahnya dan sebelumnya yang merangkai ayat tersebut.😎
7. MENGUTAMAKAN DURASI Seperti yang dijelaskan di atas, komitmenlah pada DURASI bukan pada jumlah ayat yang akan dihafal. Ibarat argo taxi, keadaan macet ataupun di tol dia berjalan dengan tempo yang tetap. Serahkan satu jam kita pada Allah.. syukur-syukur bisa lebih dari satu jam. Satu jam itu gak sampe 5 persen dari total waktu kita dalam sehari loh! Lima persen untuk Al-Quran, harus bisa dong ah…
8. PASTIKAN AYATNYA BERTAJWID Cari guru yang bisa mengoreksi bacaan kita. Bacaan tidak bertajwid yang ‘terlanjur’ kita hafal akan sulit dirubah/diperbaiki di kemudian hari (setelah kita tahu hukum bacaan yang sebenarnya). Jangan dibiasakan otodidak dalam hal apapun yang berkaitan dengan Al-Qur’an; membaca, mempelajari, mentadabburi, apalagi mengambil hukum dari Al-Quran.
NB: Setiap point dari 1 – 8 saling terkait.
Semoga bermanfaat, niat kami hanya ingin berbagi. Mungkin ini bisa jadi solusi bagi teman-teman yang merasa tertekan, bosan, bahkan capek dalam menghafal. Semoga kita istiqomah dalam bercengkrama dgn Qur'an..sebuah teguran terutama utk diri sy sendiri…
Sumber : Mba Anie di grup watsap i7